PROPOSAL PENELITIAN
MANAJEMEN SUMBER DAYA
MANUSIA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA PONDOK
PESANTREN NURUL HAROMAIN
SENTOLO
KULON PROGO YOGYAKARTA
Rini Dwi Hastuti
NIM : 2013081011
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2016
PROPOSAL PENELITIAN
MANAJEMEN SUMBER DAYA
MANUSIA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA PONDOK
PESANTREN NURUL HAROMAIN
SENTOLO
KULON PROGO YOGYAKARTA
Rini Dwi Hastuti
NIM : 2013081011
Diajukan Kepada
Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Untuk Mememuhi
Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister
Dalam Bidang Manajemen Pendidikan
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2016
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal Penelitian Berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon
Progo Yogyakarta”
N a m a : Rini Dwi Hastuti
NIM : 2013081011
Program Studi :
Manajemen Pendidikan
Program Pendidikan :
Pascasarjana
Telah diketahui dan disetujui sebagai persyaratan pengambilan data guna penelitian Tesis pada:
Hari : Jum’at
Tanggal : 29 Januari 2016
Pembimbing I Pembimbing
II
Dr. Mundilarno, M.Pd. Prof.
Dr. Mulyoto, M.Pd.
Mengetahui :
Wakil Direktur
Dr. Sunarto, M.Si
DAFTAR
ISI
BAB I.PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A.
LATAR BELAKANG MASALAH........................................................ 1
B.
FOKUS PENELITIAN............................................................................ 7
C.
RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 8
D.
TUJUAN PENELITIAN.......................................................................... 8
E.
MANFAAT PENELITIAN ..................................................................... 8
BAB
II. KAJIAN TEORI.................................................................................... 9
A. DESKRIPSI
TEORI................................................................................... 9
1. Pesantren ............................................................................................. 9
a. Pengertian dan Tujuan Pondok Pesantren................................ 9
b. Sejarah dan Peran Pondok Pesantren dari Masa ke Masa........ 14
c. Karakteristik dan Tipologi Pesantren........................................ 22
d. Kepemimpinan Pesantren......................................................... 30
e. Komponen Pesantren ............................................................... 40
f. Sistematika Pendidikan Pesantren ........................................... 45
1) Kurikulum Pesantren.......................................................... 45
a) Pondok Pesantren Salafiyah......................................... 49
b) Pondok Pesantren Khalafiyah...................................... 50
2) Manhaj dan Metode Pembelajaran .................................... 51
a) Metode Sorogan .......................................................... 52
b) Metode Bandongan(Wetonan)..................................... 52
c) Metode Hafalan (tahfozh)............................................ 53
d) Metode Diskusi............................................................. 54
e) Sistem Majelis Taklim .................................................. 55
f) Metode Penulisan Karya Ilmiah................................... 56
2. Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren
............................................... 57
a. Pengertian Mutu pendidikan di Pondok Pesantren ................. 47
b. Aspek-aspek Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren.............. 61
c. Faktor-faktor Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren ............ 62
1) Kecerdasan......................................................................... 64
2) Cinta Ilmu .......................................................................... 64
3) Kesabaran........................................................................... 65
4) Petunjuk Guru .................................................................... 66
5) Bekal Biaya ........................................................................ 67
6) Masa yang Lama ................................................................ 67
3. Manajemen Sumber Daya Manusia...................................................... 68
a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia ...................... 68
b. Komponen Manajemen Sumber Daya Manusia ...................... 71
c. Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia ................. 72
1) Perencanaan ................................................................. 74
2) Rekrutmen dan Seleksi................................................. 77
3) Orientasi dan Penempatan............................................ 83
4) Pelatihan dan Pengembangan ...................................... 85
5) Penilaian Kerja.............................................................. 88
6) Pengembangan karir...................................................... 94
7) Kompensasi................................................................... 95
4. Kaitan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan Mutu
Pendidikan Pondok Pesantren 97
B. PENELITIAN
YANG RELEVAN ........................................................ 100
C. PARADIGMA
PENELITIAN ................................................................ 102
D. PERTANYAAN PENELITIAN ............................................................. 105
BAB
III. METODE PENELITIAN................................................................... 106
A.
TEMPAT DAN WAKTU
PENELITIAN.............................................. 106
B. BENTUK DAN
STRATEGI PENELITIAN....................................... 106
C. SUMBER DATA................................................................................... 107
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA..................................................... 108
E. KEABSAHAN DATA........................................................................... 113
F. TEKNIK ANALISIS DATA................................................................. 116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN INSTRUMEN PENELITIAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah membawa perubahan pada hampir semua aspek kehidupan
manusia, di mana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya
penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan tersebut
dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan membawanya ke dalam era persaingan
global yang semakin kuat ( Zaenal, 2008:1).
Era global dicirikan dengan persaingan
bebas yang berlatar belakang pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya teknologi informasi. Hal ini merupakan harapan sekaligus ancaman bagi
seluruh bangsa yang tidak siap menghadapinya. Agar mampu berperan dalam
persaingan global ini, maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah kemampuan
berkompetisi dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, sehingga sumber daya manusia yang berkualitas dapat ditandai dengan
sifat inovatif-kreatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan informasi (Dadan,
1999: 106)
1
|
Pendidikan memiliki peran yang sangat
urgen dalam menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa,
selain itu pendidikan juga menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa serta
menjadi cermin kemajuan dalam masyarakat (Hasbullah, 1996: 27). Dengan demikian
pendidikan menempati posisi kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Semakin baik
kualitas pendidikan, maka semakin baik kualitas bangsa itu sendiri, ini pula
yang diinginkan bagi pendidikan di Indonesia sebagai negara berkembang. Untuk
itu pendidikan harus dirangcang sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peserta
didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam
suasana yang penuh kebangsaan, kebersamaan dan tanggung jawab (Zamroni,
2006:90).
Upaya
memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan seakan tidak pernah berhenti.
Banyak agenda reformasi yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Beragam
program inovatif ikut serta memeriahkan reformasi pendidikan. Reformasi
pendidikan adalah restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaiki pola hubungan
sekolah dengan lingkungannya dan dengan pemerintah, pola pengembangan
perencanaannya serta pola pengembangan manajerialnya, pemberdayaan guru dan
restrukturisasi model-model pembelajaran ( Abdul Majid, 2006 : 3)
Laporan Human
Development Index (HDI) yang diliris UNESCO pada 2013, Indonesia masuk dalam
kategori "medium human development". Indonesia bertengger di
peringkat ke-108 dari total 187 negara, berada tepat di bawah Palestina. Namun,
jika melirik negara tetangga, Malaysia sudah mampu masuk kategori "high
human development" di posisi ke-62, sederet bersama Sri Lanka di peringkat
ke-73, dan Thailand di peringkat ke-89. Sementara itu, Singapura sukses meraih
peringkat ke-9 dan masuk kategori "very high human development"
bersama Hongkong, Korea, dan Jepang. HDI merupakan salah satu patokan kualitas
sumber daya manusia di negara-negara naungan PBB. Tiga indikator utama HDI
mencakup penilaian kesehatan jangka panjang, akses terhadap pendidikan, dan
standar kesejahteraan hidup. Ketiga aspek tersebut dinilai UNESCO sebagai
faktor inti penentu kemajuan suatu bangsa( http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/21).
Pesantren,
jika disandingkan dengan lembaga
pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan
tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenou. Pendidikan ini semula
merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam
di Nusantara pada abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan
munculnya tempat-tempat pengajian(“nggon
Ngaji”). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat
menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun
bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan
satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini
dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimim Indonesia mendalami
doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan ( M.Sulton
dkk, 2004: 1)
Sejarah telah mencatat, bila pesantren
telah memainkan peranan yang sangat besar dalam ikut memajukan pendidikan di
Indonesia. Selama ini, kelebihan pesantren adalah terletak pada keberadaannya
yang multifungsional, yaitu:
berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, lembaga kemasyarakatan,
dan bahkan lembaga perjuangan. Dengan demikian, terdapat tiga potensi yang
cukup mendasar dari pesantren, yaitu potensi pendidikan, potensi dakwah dan
potensi kemasyarakatan.
Perkembangan zaman yang semakin modern,
dan tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, membuat pesantren harus terus
berupaya membenahi jati dirinya, utamanya adalah pendidikan. Agar pendidikan
yang diberikan pesantren tidak kalah majunya dengan lembaga pendidikan lainnya,
maka salah satu usaha yang dapat dilakukan pesantren, yaitu membuka dan
mengembangkan pendidikan formal ( baca: sekolah atau madrasah ) (Achmad Fauzi,2009:1)
Pondok pesantren Nurul Haromain
merupakan salah satu Pondok Pesantren di kawasan Kulon Progo yang ikut mewarnai
Islam Ala Ahlissunah Wal Jama’ah di daerah Istemewa Yogyakarta ini didirikan
oleh Bapak Kyai H.M Sirodjan Muniro AR yang sekaligus sebagai pengasuhnya.
Tepatnya pada tanggal 11 Desember 1995 dengan sebidang tanah berukuran
16.000m², beliau adalah lulusan ta’lim di makkah Al Maliki Al Hasany. Tujuannya
adalah membina kader – kader islam yang berwawasan Ahlissunah Wal Jama’ah tanpa
meninggalkan nilai – nilai Islam Jawa, Ala Wali Songo yang selanjutnya akan
menjadi Islam rohmatan – lil’alamin. Visi Pengemban dakwah penerus Rosulillah
SAW dalam lii’lai kalimatillah dan mempertahankan Al Islam Ahlisunnah Wal
Jama’ah. Misi membina santri – santri menjadi insani yang berkepribadian Islam,
berpegang teguh pada Al – Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW dan berhaluan Salafiyah
Ahlussunah Wal Jama’ah Ala Madzahibil Arba’ah. Pembinaan calon – calon pemimpin
masyarakat (umat) yang bertanggung jawab dan mampu mengembangkan dakwah islam
serta mempunyai kepekaan terhadap perubahan dan perbedaan social ekonomi
masyarakat (umat). Pondok Pesantren berusaha memikirkan alumnusnya (yang
mendapat ridho Kyai) sebagai wujud tanggung jawab Pondok Pesantren (Kyai)
kepada anak didiknya (santrinya).
PLANNING / PROGRAM PONDOK PESANTREN “
NURUL HAROMAIN “ Pesantren S3 ( Santri Siap Salurkan ) Wajib 10 Tahun
dipesantren/Gratis Kota Santri Pesantren mahir 4 bahasa ( Arab, Inggris, Sunda,
Madura ), SKU ( Sekolah Kejar Umum ), Rumah Sakit ( Medis/Alternatif/Gangguan
Jiwa), Usaha Produktif jasa Transportasi Tenda dengan segala rangkaian
Peternakan (Kambing / sapi) BMT Produk Muslim Pasar Seng ( pasar muslim ) Pasar
Pondok Toko Supermarket dan Material Pesantren Lansia, Pesantren Tuna Netra,
Pesantren anak Cacat, Pesantren Narkoba, Pesantren Da’Wah ( Tabligh ), Sekolah
umum (MI/MTs/MA/SMK), Pesantren Pesantren Thoriqoh, Pesantren Lapanan,
Pesantren Orang Hamil, Pesantren Jodoh, Pesanren Hijrah (Santri pindahan) yang
siap berjuang (http://el-nuha.blogspot.com/2013/09/pp-nuha.html)
Dimana saja
secara tradisi, sebuah institusi pendidikan Islam dapat disebut “pesantren”
kalau ia memiliki elemen-elemen utama yang lazim dikenal di dunia pesantren.
Sebagaimana Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari
tradisi pesantren (1982:44)
Budaya (culture, colere, kultur, tsaqofah, peradaban, dan civilization)
diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, norma, dan keyakinan
(belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berfikir, nilai, moral,
norma, dan keyakinan, merupakan hasil interaksi sesama manusia dan lingkungan
alam, akan tetapi dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan,
manusia diatur oleh sistem berpikir, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkan
( Said Hamid H dkk, 2010 :3). Seorang filusuf Jerman Immanuel Kant, mengatakan
bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar
dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah dimana manusia dapat
belajar (Faisal Ismail, 1997: 23). Budaya sebagai kekayaan bangsa Indonesia,
juga dapat berfungsi sebagai penyaring (filter)
karakter, bahkan sebagaimana definisi Immanuel Kant di atas maka budaya juga
dapat dijadikan sebagai strategi pendidikan karakter. Budaya sebagai sebuah
produk bersama komunitas sosial, sangatlah efektif dan efisien jika
dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan (continue) untuk membangun kesadaran diri dalam menginternalisasikan
karakter yang ditanamkan. Salah satu lembaga pendidikan yang banyak
mengedepankan budaya adalah pondok pesantren yang sering disebut sebagai
“budaya pesantren” ( Husna Nasihin, 2014:4-5). Budaya pesantren yang
dilaksanakan secara berkesinambungan akan mampu menurunkan tingkat kriminalitas
di tengah perkembangan masyarakat yang cenderung liberal saat ini. Pesantren
terbukti mampu mempertahankan eksistensinya bahkan berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat ( In’am Sulaiman, 2010:ix).
Atas dasar alasan-alasan di atas, maka
manajemen sumber daya manusia dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan
sangatlah penting untuk diteliti.
B.
Focus Penelitian
Sesuai dengan latar belakang masalah,
penelitian ini akan membicarakan manajemen sumber daya manusia, khususnya
adalah pendidik / ustadz / guru/ pembimbing/ murobbi/ pengurus yang ada pada semua proses kegiatan di Pondok
Pesantren Nurul Haromain sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
C.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana manajemen
sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada
Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
2.
Faktor apa saja yang
mendukung dan menghambat manajemen
sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada
Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
3.
Bagaimana usaha
mengatasi kendala manajemen
sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.
Untuk mengetahui
manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo.
2.
Untuk mengetahui faktor
apa saja yang mendukung dan menghambat manajemen sumber daya manusia (pendidik)
dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain
Sentolo Kulon Progo.
3.
Untuk mengetahui usaha mengatasi kendala manajemen
sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo
E.
Manfaat Penelitian
1.
Secara teoritis, kajian
ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam
bidang pendidikan dan informasi kepada peneliti-peneliti lain sehingga kajian
ini dapat memberikan informasi kepada peneliti lain untuk meneruskan penelitian
yang berhubungan dengan manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Persantren.
2.
Secara praktis, pada
tingkat satuan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Nurul Haromain, penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
terkait pada manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan
mutu pendidikan agar mutu pendidikan yang diharapkan dapat sesuai tujuan dalam menghadapi era pasar bebas ASEAN pada
akhir tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo.
|
Kajian Teori
A.
Deskripsi Teori
1.
Pesantren
a.
Pengertian dan Tujuan Pondok Pesantren
Secara
historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang
dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya,
pesantren merupakan sebuah produk budaya masyarakat indonesia yang menyadari
akan arti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secara natural.
Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut menggagas pondok pesantren
sebagai pusat peradaban muslim yang diadopsi,
tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas) dan telah sekian lama
mengakar serta hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Ada
beberapa pendapat mengenai asal mula kata “pesantren”, diantaranya:
1)
|
2)
C.C. Berg berpendapat, bahwa
kata santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti “orang yang
memiliki pengetahuan tentang kitab suci”.
3)
Robson berpendapat bahwa kata
santri berasal dari bahasaTamil “sattiri” yang berarti “orang yang
tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum”.
4)
Pendapat lain mengatakan bahwa
santri berasal dari bahasa Sanskerta “cantrik” yang berarti “orang yang
selalu mengikuti guru”.
5)
Ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa santri pada awalnya merupakan gabungan dari kata “saint” (manusia
baik) dan “tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren diartikan
sebagai tempat pendidikan manusia baik baik.
Dalam
hubungan ini, kata Jawa “pesantren” yang diturunkan dari kata “santri” dengan
awalan dan akhiran “pe-an”, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam
tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa (santri) sebagai model
pendidikan agama di Jawa.
Sedangkan secara
istilah pesantren adalah lembaga pendidikan islam, dimana
para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran
kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama
Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian
dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi pesantren menurut beberapa sumber
antara lain:
1) Dalam
kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat
santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji.
2) Prasojo, dkk., menyatakan bahwa pesantren salah satu bentuk
lembaga pendidikan keagamaan di daerah pedesaan yang belum banyak diketahui (Sudjoko Prasodjo, 1974 : 1).
3) Dhofier menyatakan bahwa pendidikan pesantren di
Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali
berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau
tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab fundug,
yang berarti hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 18).
4) Mukti Ali berpendapat bahwa pondok adalah pondok,
bukan sekolah, bukan pula madrasah. Ia memiliki karakteristik yang unik dalam
menjalankan cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta
hierarki kepemimpinan tersendiri yang ditaati sepenuhnya oleh penghuninya (Mulyanto Sumardi, 1978:39).
5) Abdurrahman Wahid menggambarkan pesantren sebagai
sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran
lahiriahnya, yakni sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari
kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks pesantren itu berdiri beberapa buah
bangunan: rumah pengasuh, surau atau masjid, tempat pengajaran, dan asrama
tempat tinggal para siswa pesantren. Tidak ada suatu pola tertentu yang diikuti
dalam pembangunan fisik sebuah pesantren, sehingga penambahan-penambahan bangunan
pesantren dapat dikatakan mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka. Dalam
lingkungan bangunan fisik yang demikian, diciptakan semacam kehidupan yang
memiliki sifat dan karakteristik tersendiri (Abdurrahman Wahid, 1999: 10-12).
Dari
berbagai pengertian pesantren tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki elemen-elemen dasar,
yakni: kyai, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, masjid dan pondok/asrama.
Ia merupakan lembaga pendidikan swasta milik kyai, tempat seleksi calon-calon
ulama. Elemen-elemen tersebut dapat bertambah sesuai dengan perkembangan
pesantren (Abd. Rachman Shaleh dkk., 1982: 66).
Pada
mulanya tujuan utama Pondok Pesantren adalah menyiapkan santri dalam mempelajari
dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin
yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan
masyarakat Indonesia. Santri-santri lulusan Pondok Pesantren memiliki tugas
berdakwah menyebarkan agama Islam dan membentengi umat dalam bidang akhlak.
Seiring perkembangan zaman dan tuntutannya, tujuan Pondok Pesantren pun
bertambah karena perannya yang signifikan di masyarakat, yaitu berupaya
meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan.
Tujuan pendidikan pesantren
menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat
atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi
masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan
kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan sekedar muslim.
Sedangkan menurut M.Arifin bahwa
tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:
1) Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk
menjadi orang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan
serta mengamalkannya dalam masyarakat.
2) Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik agar menjadi
manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi
mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar dan melalui ilmu dan amalnya.
Dari beberapa tujuan
didirikannya Pondok Pesantren di atas mengantarkan Pondok Pesantren sebagai
salah satu institusi non-pemerintah yang mampu memainkan berbagai macam peranan
dalam proses pembangunan di berbagai sektor kehidupan terutama di daerah.
Keberadaan pondok pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi
pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah
sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber
daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah. Terlebih lagi
proses transformasi sosial di era otonomi mensyaratkan daerah lebih peka
menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada
dalam masyarakat dapat dioptimalkan (Ginandjar Kartasasmita dalam Matuki HS
dkk., 2003: 13-14).
b. Sejarah dan Peran Pondok Pesantren dari
Masa ke masa
Pondok pesantren, menurut sejarah akar berdirinya di
Indonesia, ditemukan dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan
bahwa Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat.
Pondok pesantren mempunyai kaitan erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi
kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia
pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini
ditandai dengan terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan
amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu disebut kyai, yang
mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan
cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan
ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini para kyai
menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di
kiri kanan masjid. Di samping mengajarkan amalan tarekat para pengikut itu juga
diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Dalam
perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi
lembaga Pondok Pesantren. (Depag, 2003: 10)
Dawam Rahardjo menyatakan perlu adanya tinjauan dan
penelitian sejarah tentang pesantren. Lebih lanjut dikatakan, ada tanda-tanda
bahwa model pesantren itu berakar pada sejarah nabi sendiri. Sebelum Nabi
Muhammad SAW. Menyiarkan Islam secara terang-terangan kepada masyarakat luas
setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad telah membentuk kelompok pengajian,
mula-mula bertempat di bukit luar kota Makkah, selanjutnya berpindah ke rumah
Al-Arqam bin Abu Arqam selama kurun waktu 4 tahun dan diikuti oleh 40 pemuda.
Pemuda-pemuda inilah yang tumbuh dan berkembang menjadi pemimpin yang
mempengaruhi peradaban besar di wilayah Arab dan Afrika Utara. (Dawam Rahardjo,
1974:32-33)
Pendapat kedua, menyatakan bahwa Pondok
Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan
dari sistem yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga
Pondok Pesantren sudah ada di negeri ini. Pada masa itu, pendirian Pondok
Pesantren dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu.
Fakta lain menunjukkan tidak ditemukannya lembaga Pondok Pesantren di
negara-negara Islam lainnya (Depag, 2003: 11).
Amir Hamzah, sebagaimana
dikutip Karel A. Steenbrink menyatakan, secara terminologi dapat dijelaskan
bahwa budaya pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistem pendidikannya,
berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut
telah terlebih dahulu digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut
kemudian diadopsi oleh para ulama penyebar Islam. Istilah-istilah yang ada di
pesantren pun,seperti mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab,
melainkan dari India (Karel A. Steenbrink, 1994:20-21).
Terlepas dari perbedaan
pendapat mengenai asal mula pesantren, yang penting untuk digarisbawahi adalah
bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang masih tetap konsisten
sampai sekarang di dalam memelihara nilai-nilai, budaya atau tradisi, serta
keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
diakui sejak awal sangat independen atau mandiri. Dalam hal ini, Malik Fadjar
dalam Amin Haedari pernah membanggakan kemandirian pesantren ini dengan
mengatakan; “Ditinjau dari sisi kemandirian, pesantren jelas lebih unggul
dibandingkan lembaga perguruan tinggi yang meski terkesan “wah” tetapi
justru merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya paling bertanggung jawab terhadap
membludaknya angka pengangguran di masyarakat.”
Pondok Pesantren di Indonesia
baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa
Klasik seperti Serat Cabolek dan Serat
Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah
banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik
dalam bidang fiqih, akidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam
yaitu Pondok Pesantren (Depag RI, 2003: 11). Walaupun sulit diketahui
kapan permulaan munculnya, namun banyak dugaan yang mengatakan bahwa lembaga
Pondok Pesantren mulai berkembang tidak lama setelah masyarakat Islam terbentuk
di Indonesia.
Pada dasarnya, Pondok
Pesantren lahir sebagai perwujudan dari dua keinginan yang bertemu. Keinginan
orang yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup (yaitu santri) dan
keinginan orang yang secara ikhlas mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada
umat (yaitu kyai). Sehingga Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga yang
memadukan dua keinginan tersebut. Adapun tempatnya dapat berupa langgar,
mushalla atau masjid, yang berkembang berdasarkan bertambahnya santri yang
menuntut ilmu. Di tempat ini pula kemudian aktivitas santri diselenggarakan.
Dalam perkembangannya
Pondok-pondok Pesantren yang menyebar ke
seluruh Indonesia memiliki kekhasan tersendiri, tergantung keahlian dasar sang kyai
atau guru. Hal yang tetap sama adalah isi pengajarannya yang diberikan
melalui pengajaran kitab-kitab kuning.
Namun
persoalan-persoalan masyarakat di bidang sosial, ekonomi dan bahkan politik
ikut menjadi perhatian para santri. Maka tidaklah mengherankan jika di masa
sekarang peranan pondok pesantren merambah ke arah pemberdayaan ekonomi, karena
memang pada dasarnya telah melembaga sejak dahulu.
Selanjutnya pertumbuhan Pondok
Pesantren di seluruh Indonesia berlangsung dengan cepat. Ini dimungkinkan
tersebar karena para santri dianggap telah mampu menguasai ilmu yang telah
diberikan kyai kemudian kembali ke daerah masing-masing dan mendirikan Pondok
Pesantrennya sendiri dengan pengembangan sesuai dengan keahlian masing-masing. Bahkan
pada tahun-tahun perjuangan kemerdekaan, peran Pondok Pesantren cukup besar.
Mobilisasi umat dilakukan para kyai untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajah. Salah satu bukti peran penting Pondok Pesantren dan jasa besar para
kyai dalam memobilisasi umat untuk melawan penjajah adalah adanya “Resolusi
Jihad” yang dikumandangkan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng, yang mengobarkan semangat “arek-arek Surabaya”
mengusir penjajah yang tidak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik
Indonesia. Semangat para santri ikut berperang dalam pertempuran besar 10
November 1945 pada akhirnya mengantarkan penghargaan dan apresiasi bagi kaum
santri dengan dicanangkannya “Hari Santri” oleh Presiden Joko Widodo pada 22
Oktober 2015.
Pada masa penjajahan inilah
Pondok Pesantren mengalami tekanan yang amat berat. Pondok Pesantren memberikan
pengajaran tentang cinta tanah air dan menanamkan sikap patriotik pada para
santrinya. Lembaga ini mengutamakan pembinaan mental dan spiritual para
santrinya. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran bagi penjajah, sehingga mendorong
pemerintah Hindia Belanda menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam
performa sekolah (Depag RI, 2003: 13-14).
Pada akhir abad ke-19, lembaga
pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif
ulama atau kyai terhadap kebijakan “politik Etis” pemerintah kolonial
Belanda. Kebijakan pemerintah kolonial ini dimaksudkan sebagai balas jasa
kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya
Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah
yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat
pendidikan yang diberikan. Brugmans dalam Mastuki HS dkk. (2003: 1-2) mencatat
antara tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang bersekolah hanya mencapai
1,3 juta jiwa. Padahal jumlah penduduk di Pulau Jawa saja hingga tahun 1930
mencapai 41,7 juta jiwa. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia masih buta
huruf.
Sikap non-kooperatif dan silent
opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren
di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial
serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan.
Sampai akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1860-an menurut penelitian Sartono
Kartodirdjo jumlah pesantren mengalami peledakan yang luar biasa, terutama di
Jawa yang diperkirakan mencapai 300 buah. Perkembangan pesantren yang begitu
pesat juga ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga
memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekah.
Sepulangnya ke kampung halaman, para pelajar yang mendapat gelar “haji” ini
mengembangkan pendidikan agama di tanah air yang bentuk kelembagaannya kemudian
disebut “pesantren” atau “pondok pesantren”.
Pada paruh kedua abad ke-20
ada dorongan arus besar dari pendidikan ala Barat yang dikembangkan pemerintah
Belanda dengan mengenalkan sistem sekolah. Di kalangan pemimpin-pemimpin Islam,
kenyataan ini direspon secara positif dengan memperkenalkan sistem pendidikan
berkelas dan berjenjang dengan nama “madrasah” (yang dalam beberapa hal berbeda
dengan sistem “sekolah”).
Baru memasuki era 1970-an
pesantren mengalami perubahan signifikan. Perubahan dan perkembangan itu bisa
ditilik dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami
perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban
(pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan
pada 1977 jumlah pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri
sekitar 677.394 orang. Data terakhir tahun 2001 menunjukkan jumlah pesantren
seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805
orang. Jumlah ini meliputi pesantren salafiyah, tradisional sampai modern.
Selain menunjukkan tingkat keragaman dan orientasi pimpinan pesantren dan
independensi kyai, jumlah ini memperkuat argumentasi bahwa pesantren merupakan
lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri dan sejatinya merupakan praktik
pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Hampir 100%
pendidikan yang berada atau dilaksanakan di pesantren adalah milik masyarakat
dan berstatus swasta. Keberadaan pesantren yang menyebar dan meluas di pedesaan
(sekitar 8.829 atau 78,05%) bisa dijadikan sebagai basis gerakan pemberantasan
buta huruf, akselerasi program wajib belajar dan bisa meningkatkan HDI (Human
Development Indext) Indonesia di mata dunia (Mastuki HS dkk., 2003: 4-5). Perkembangan
kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Bentuk-bentuk pendidikan
yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi.
c.
Karakteristik
dan Tipologi Pesantren
Abdurrahman Wahid menempatkan pesantren sebagai subkultur tersendiri
dalam masyarakat Indonesia. Menurutnya, keberadaan lima ribu buah pondok
pesantren yang tersebar di enam puluh delapan ribu desa merupakan bukti
tersendiri untuk menyatakan sebuah subkultur
(Mastuki HS dkk., 2003: 10). Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
agama Islam memiliki cirri-ciri tertentu. Cirri-ciri umum pondok pesantren
adalah (1) kyai, sebagai pimpinan pondok pesantren, (2) para santri yang
bermukim di asrama dan belajar pada kyai, (3) asrama, sebagai tempat tinggal
para santri, (4) kajian kiatb kuning sebagai bentuk pengajaran kyai terhadap
para santri, (5) masjid atau mushalla sebagai pusat pendidikan dan pusat
kompleksitas kegiatan.
Beberapa uraian yang menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuk
murni (tradisional) menyebutkan ciri-ciri
pesantren dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)
Adanya hubungan
yang akrab antara santri dan kyainya. Kyai sangat memperhatikan santrinya. Hal
ini dimungkinkan karena mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering
bertemu baik di saat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan
sebagian santri diminta menjadi asisten kyai (khadam).
2)
Kepatuhan santri
kepada kyai. Para santri menganggap bahwa menentang kyai selain tidak sopan
juga dilarang agama, bahkan tidak memperoleh berkah ilmu karena durhaka kepada
guru.
3)
Hidup hemat dan
sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir
tidak didapatkan di sana. Bahkan beberapa santri yang hidupnya terlalu
sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan pemenuhan gizi.
4)
Kemandirian amat
terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar
tidurnya sendiri, dan memasak sendiri.
5)
Jiwa tolong
menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwwah islamiyah) sangat mewarnai
pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang merata di kalangan
santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama,
seperti shalat berjama’ah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6)
Disiplin sangat
dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan
sanksi-sanksi edukatif (ta’zir).
7)
Keprihatinan
untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat,
zikir, dan I’tikaf, shalat tahajud, dan bentuk-bentuk riyadloh lainnya
atau meneladani kyainya yang menonjolkan sikap zuhud.
8)
Pemberian
ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai pengalihan pengetahuan
yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan
atau restu kyai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab
setelah dikuasai penuh.
Sa’id Aqiel Siradj (1999:
215-216) menyatakan bahwa eksistensi pondok pesantren yang sedemikian lama
dimungkinkan pula karena sikap kepercayaan diri yang tinggi dan penuh
pertahanan diri. Dalam rangkaian ini pula terlahir jiwa Pondok Pesantren yang
merupakan karakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan
manapun. Jiwa Pondok Pesantren itu terimplikasi dalam panca-jiwa Pondok
Pesantren sebagai berikut:
1) Jiwa Keikhlasan
Jiwa
keikhlasan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah.
Jiwa keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan tindakan yang
selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas Pondok Pesantren, jiwa ini
terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik mesti dibalas oleh
Allah dengan balasan yang baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.
2) Jiwa Kesederhanaan
Sederhana
bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, tetapi mengandung unsur
kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan.
Di balik kesederhanaan itu terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam
menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas
santri yang paling khas di mana-mana.
3) Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah
islamiyah yang demokratis ini tergambar dalam situasi dialogis dan akrab antar
komunitas Pondok Pesantren yang dipraktikkan sehari-hari. Keadaan ini akan
mewujudkan suasana damai, senasib sepenanggungan, yang sangat membantu dalam
pembentukan dan pembangunan idealisme santri. Perbedaan yang dibawa oleh santri
ketika masuk pondok pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan yang
dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.
4) Jiwa Kemandirian
Kemandirian
di sini bukanlah kemampuan dalam mengurus persoalan-persoalan intern, tetapi
kesanggupan membentuk kondisi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan
Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan pamrih pihak
lain. Pondok pesantren harus mampu berdiri di atas kekuatannya sendiri.
5) Jiwa Bebas
Bebas dalam
memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan
sikap optimis menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai
Islam. Kebebasan di sini juga berarti tidak terpengaruh atau tidak mau didikte
oleh dunia luar.
Adapun
penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat
dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus,
sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian
rupa. Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di
pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah
(kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut
sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus
transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan
yang drastis, misalnya:
1)
Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan
atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah
madrasah (sekolah).
2)
Pemberian pengetahuan umum disamping masih
mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3)
Bertambahnya komponen pendidikan pondok
pesantren, misalnya keterampilan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
4)
Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah
(ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah
tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
Seiring dengan laju
perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami perubahan.
Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada
beberapa pembagian tipologi pondok pesantren yaitu :
1) Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab
klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana
yang lazim diterapkan
dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan weton.
2)
Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal
(madrasi) memberikan ilmu
umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3)
Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibadah dan
kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan
dipesantren kilat.
4)
Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau
kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas
berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut
Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1)
Pesantren yang mempertahankan
kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) bagi para
santrinya. Semua materi yang diajarkan
dipesantren ini sepenuhnya bersifat
keagamaan yang bersumber dari
kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren
Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan
lain-lain.
2)
Pesantren yang memasukkan
materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak
mengikuti kurikulum yang ditetapkan
pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari
pemerintah sebagai ijazah formal.
3)
Pesantren yang menyelenggarakan
pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas
Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS)
dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan
Tinggi yang tak hanya
meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum.
Contohnya
adalah Pesantren Tebuireng
di Jombang Jawa Timur.
4)
Pesantren yang merupakan asrama
pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini
diberikan di luar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya.
Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.
Menyadari bahwa Pondok
Pesantren telah mengalami perkembangan bentuk dari keadaan semula, pada tahun
1979, Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 tahun 1979 yang menyatakan
bentuk Pondok Pesantren adalah sebagai berikut:
1)
Pondok Pesantren Tipe A, yaitu Pondok Pesantren di
mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan Pondok
Pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara tradisional (wetonan
atau sorogan).
2)
Pondok Pesantren Tipe B, yaitu Pondok Pesantren yang
menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy) dan pengajaran
oleh kyai bersifat aplikatif dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para
santri tinggal di asrama lingkungan Pondok Pesantren.
3)
Pondok Pesantren Tipe C, yaitu Pondok Pesantren yang
hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau
sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan Pembina mental para santri.
4)
Pondok Pesantren Tipe D, yaitu Pondok Pesantren yang
menyelenggarakan sistem Pondok Pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau
madrasah.
d.
Kepemimpinan Pesantren
Kata
“Kepemimpinan” secara etimologi berasal dari kata dasar “pimpin”. Dengan
membubuhi imbuhan me- pada kata pimpin, menjadi kata “memimpin”, yang berarti
orang yang memimpin. Kata “memimpin”, semakna dengan mengetuai atau mengepalai;
memandu; melatih (mendidik, mengajari) supaya dapat mengerjakan sendiri. Kata
“pemimpin” berarti orang yang memimpin. Dengan membubuhi konfiks ke-an pada
kata pemimpin, menjadi kata “kepemimpinan” mempunyai arti perihal pemimpin;
cara memimpin.
Duke (1986: 10) melihat kepemimpinan sebagai
fenomena gestalt, yakni keseluruhan lebih besar daripada
bagian-bagiannya. Menurut Dubin (1968: 385) kepemimpinan terkait dengan
penggunaan wewenang dan pembuatan keputusan. Sementara Fiedler (1967: 8) lebih
melihat pemimpin sebagai individu dalam kelompok yang diberi tugas untuk
mengarahkan dan mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait
dengan tugas. Memperkuat pandangan ini, Stogdill (1950: 4) menjelaskan
kepemimpinan sebagai kemampuan proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam
rangka penyusunan tujuan organisasi dan pelaksanaan sasaran. Akhirnya Pondy
(1978: 94) mendeskripsikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menjadikan
suatu aktifitas bermakna tidak untuk merubah perilaku namun memberi pemahaman
kepada pihak lain tentang apa yang mereka lakukan.
Istilah
kepemimpinan menurut Yuki, proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami
dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan
secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif
untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tersebut mencakup upaya yang bukan
hanya untuk mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan organisasi yang sekarang,
namun dapat juga digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi
tantangan di masa depan.
Sutisna
merumuskan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau
kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu.
Sementara itu, Soepardi mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampunan
menggerakan, mempengaruhi, memotifasi, mengajak, mengarahkan, menasihati,
membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum jika
diperlukan, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen
mau bekerja dalam rangka pencapaian tujuan administrasi secara efektif dan
efisien (Fuad Asnawi, 2008: 74-76).
Kepemimpinan
dalam sebuah pesantren pada umumnya bersifat alami, baik dalam pengembangan
pesantren ataupun dalam proses
pembinaan seorang calon pemimpin yang teratur dan menetap. Pembinaan dan
pengembangan pola kepemimpinan dalam pesantren tersebut menjadikan menghasilkan
kontinuitas ‘persambungan’, pergantian
estafet kepemimpinan yang positif, namun seringkali terjadi penurunan kualitas
kepemimpinan pesantren jika pemimpin generasi berikutnya tidak sebanding dengan
kualitas pemimpin yang digantikannya.
Pada
umunya, sebuah pesantren didirikan oleh seorang kyai yang memiliki cita-cita
tinggi dan upaya yang keras untuk merealisasikan cita-citanya. Proses tersebut
akan menampilkan seorang kyai pemimpin pesantren yang tertempa oleh pengalaman
yang menjadikan keunggulan pribadinya mengalahkan kualitas pribadi-pribadi di
sekitarnya. Sifat mutlak dan pribadi dari kepemimpinan seperti inilah yang
dinamai karisma. Pemimpin karismatik
dengan akhlak terpuji dan kemampuan yang dimilikinya dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan, dan tingkah laku orang yang dipimpinnya sehingga dalam
suasana batin yang dipimpinnya bersedia berbuat sessuai dengan yang dikehendaki
pemimpinnya. Dengan kepribadian itu pemimpin dapat diterima dan dipercaya
sebagai orang yang dihormati, disegani, dan dipatuhi dengan suka rela (Fuad Asnawi, 2008: 83).
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren
diurus oleh satu atau dua kyai yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang
bersangkutan (Azyumardi Azra, 199: 104). Pesantren menekankan sikap konservatif
yang bersandar dan berpusat pada figure kyai (A. Malik Fadjar, 2005: 219).
Karena itu Sindu Galba menyimpulkan bahwa, “Kyai merupakan elemen yang paling
esensial dari suatu pesantren” (Sindu Galba, 1995: 62). Kyai dalam pesantren
merupakan figure sentral otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan.
Kyai adalah pemimpin tunggal yang memegang wewenang hampir mutlak. Kyai
menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren.
Abdurrahman Mas’ud mengatakan bahwa para santri menerima kepemimpinan
kyai karena begitu percaya pada konsep dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau
barakah yang didasarkan atas doktrin status keistimewaan seorang alim atau
wali. Mereka meyakini bahwa orang alim maupun wali memiliki kemampuan istimewa
yang tidak dimiliki semua orang pada umumnya sehingga menerima kepemimpinan
mereka sebagai satu keniscayaan. Di dalam pesantren, penerimaan santri pada
kepemimpinan kyai lebih niscaya lagi. Hal ini disebabkan oleh baik pertimbangan
struktural, teologis, maupun kultural. Secara struktural, posisi kyai di
pesantren bagaikan raja dalam kerajaan. Jadi kyai memiliki posisi tertinggi
yang tidak mungkin ditandingi orang lain. Secara teologis, kyai diyakini dapat
membantu atau memberikan kenikmatan, tetapi juga bisa mengakibatkan bahaya.
Secara kultural kyai sebagai orang tua baik karena faktor usia ataupun dituakan
karena kedalaman ilmunya sehingga harus dihormati dan dijadikan panutan/pemimpin
(Mujamil Qomar, 2007: 65)
Kepemimpinan kyai seperti tergambar di atas memunculkan kenyataan bahwa
kyai adalah pemimpin yang karismatik. Imej yang justru cenderung memperkokoh
bangunan otoritas tunggal yang secara frontal bertentangan dengan alam
keterbukaan. Sosok kepemimpinan inilah yang menimbulkan kesan pada Martin van
Bruinessen bahwa demokrasi masih jauh dari pesantren (Martin van Bruinessen,
1994: 78). Meskipun demikian, Syaefuddin Zahri justru menilai dengan cara yang
berbeda. Menurutnya alam pesantren terkenal bebas dan demokratis. Sepanjang
menyangkut proses pembelajaran pesantren memang melibatkan partisipasi orang
lain, hampir tanpa batas seperti tidak ada seleksi, tidak ada absen, tidak ada
batas usia, dan tidak ada klasifikasi secara intelektual sehingga benar-benar
demokratis. Namun jika menyangkut kepemimpinan, kyai menjelmakan dirinya
sebagai pemimpin individual yang memegang wewenang hampir mutlak akibat pesona
karismatik itu (Mujamil Qomar, 2007: 67).
Sebagaimana ditegaskan Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa watak
kepemimpinan karismatik kyai pesantren itu yang menyebabkan selama ini pola
kepemimpinan belum menetap di pesantren. Di samping itu masih ada empat
kerugian dari kepemimpin karismatik tersebut. Pertama, ketidakpastian
dalam perkembangan pesantren, karena semua hal tergantung kepada keputusan
pribadi kyai. Kedua, keadaan yang kurang mendukung tenaga-tenaga
pembantu (termasuk calon pengganti yang keatif) untuk mencoba pola-pola
pengembangan yang belum diterima oleh figur kepemimpinan yang ada. Ketiga, pola
pergantian kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan
sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya
pemimpin secara mendadak. Keempat, terjadinya pembauran dalam
tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat local, regional, dan
nasional. Tergantikannya seorang pemimpin pesantren yang memiliki pengaruh
tingkat nasional dengan pemimpin yang baru, seringkali tidak dapat mengimbangi
pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup menjembatani
perbedaan pendapat antar pemimpin pesantren (Abdurrahman Wahid, 1993: 167-169).
Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan rangkaian
kerugian lainnya karena sikap dan penampilan kyai yang membentuk mata rantai
kelemahan yang oleh Nurcholish Madjid dipaparkan sebagai berikut:
1) Karisma
Pola
kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratis, sebab
tidak rasional. Apalagi jika disertai tindakan-tindakan yang bertujuan
memelihara karisma itu, seperti menjaga jarak dengan para santri. Pola
kepemimpinan seperti ini akan kehilangan kualitas demokratisnya.
2) Personal
Karena
kepemimpinan kyai merupakan kepemimpinan karismatik maka dengan sendirinya juga
bersifat pribadi atau personal. Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa
seorang kyai tidak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan
dalam rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren.
3) Religio-Feodalisme
Seorang
kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam
masyrakat feodal. Feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan
jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa.
4) Kecakapan Teknis
Karena
dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka faktor kecakapan teknis
menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok
tertinggalnya pesantren dalam perkembangan zaman (Nurcholish Madjid, 1992:
95-96).
Kelemahan kepemimpinan karismatik sebagaimana diungkapkan tersebut di
atas, menurut Zamakhsyari Dhofier didasarkan pada sudut pandang yang melihat
kelangsungan hidup sebuah pesantren hanya pada kelangsungan individual
masing-masing pesantren. Namun sebenarnya, para pemimpin pesantren menyadari
sepenuhnya masalah ini. Pemimpin pesantren senantiasa memikirkan kelangsungan
hidup pesantrennya sendiri sepeninggalnya. Cara praktis yang ditempuh kyai
dalam melestarikan kehidupan pesantren adalah dengan (1) mempersiapkan keluarga
yang terdekat menjadi calon pengganti kepemimpinan pesantren, (2) mengembangkan
suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antar keluarga kyai, (3)
mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual
antara sesama kyai dan keluarganya (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 61).
Imam Suprayogo (1999: 162) mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan
terhadap pesantren yang ada, dapat ditegaskan, “Pesantren yang berhasil
membutuhkan pemimpin, bukan pengatur.” Ada perbedaan mendasar antara pemimpin
dan pengatur. Seorang pengatur lebih berorientasi pada penerapan
aturan-aturan legal formal kepada bawahan sehingga sentuhannya bercorak
hierarkis-birokratis. Sementara itu, seorang pemimpin lebih berorientasi
untuk mengayomi, melindungi, memberi teladan dalam kehidupan sehari-hari, serta
memotivasi sehingga sentuhannya lebih bercorak human skill (keahlian
menyadarkan orang lain sebagai bawahan).
Selanjutnya, pola-pola kepemimpinan kyai di pesantren yang selama ini
kurang kondusif menghadapi tantangan-tantangan modernisasi perlu (bahkan,
harus) diubah menjadi pola-pola kepemimpinan yang lebih responsif terhadap
tuntutan zaman. Pola tersebut haruslah mengarah pada kegiatan yang melibatkan
lebih banyak orang lain lagi dalam jajaran kepemimpinan, untuk bersama-sama
menjalankan roda organisasi pesantren menuju kondisi yang maju dan mapan, baik
dari sisi kelembagaan, sistem pendidikan, proses pembelajaran, maupun kualitas
santri (Mujamil Qomar, 2007: 71)
Oleh karena itu, pola kepemimpinan pesantren yang umumnya bercorak
alami, yaitu berupa pola pewarisan, termasuk dalam estafet kepemimpinan harus
segera dirombak agar tidak ditinggalkan masyarakat. Pengembangan pesantren
maupun proses pembinaan kader yang akan menggantikan pimpinan yang ada harus memiliki
bentuk yang teratur dan menetap. Maka, pesantren sesungguhnya membutuhkan lebih dari seorang
pemimpin. Konsekuensinya, dalam keadaan tertentu pesantren perlu menerapkan
sistem kepemimpinan multileaders. Misalnya, ada pesantren yang
menerapkan pola dua pemimpin, yaitu pemimpin urusan luar pesantren dan pemimpin
bidang kepesantrenan. Dalam pola kepemimpinan ini, terdapat pemimpin umum yang
dipegang oleh seorang kyai dan pemimpin harian yang mengurus kegiatan praktis
mengenai kependidikan dan sebagainya (Musthofa Rahman, 2002: 117).
Artinya, sistem manajerial pesantren tersebut harus mengarah pada pola
kepemimpinan kolektif, sesuai hierarki kepemimpinan. Dengan model ini,
pesantren bisa menjadi salah satu lembaga modern sehingga kelangsungan
eksistensi pesantren tidak lagi bergantung pada seorang kyai sebagai pemimpin
tertinggi secara manunggal. Jika kyai wafat, kepemimpinannya bisa diteruskan
oleh pemimpin lainnya secara sistematis. Di samping itu, melalui kepemimpinan
kolektif ini, seorang kyai dapat berbagi tugas dengan wakilnya sesuai keahlian
yang dimiliki (Musthofa Rahman, 2002: 119-121).
e.
Komponen Pondok
Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
memiliki elemen-elemen dasar, yakni: kyai, santri, pengajaran kitab-kitab
klasik, masjid, dan pondok (Fuad Asnawi, 2008: 52). Dalam lokakarya
intensifikasi pengembangan pondok pesantren yang diselenggarakan Departemen
Agama bulan Mei 1978 di Jakarta, diputuskan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu: kyai,
yang mendidik serta mengajar; santri dan asramanya; serta masjid (Abd. Rachman
Shaleh dkk., 1982: 66).
1) Pengertian kyai
Dalam sebuah pesantren, kyai merupakan elemen yang paling esensial. (
Lihat Kafrawi,1978 : 20-22). Ia seringkali bahkan merupakan pendiri sebuah
pesantren. Kyailah yang merintis, mengasuh, menentukan mekanisme belajar dan kurikulum
serta mewarnai pesantren dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan yang dimilikinya. Karena itu, karakteristik pesantren dapat
diperhatikan melalui profil kyainya. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren
semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya (Mujamil Qomar, 2007:
63).
Zamakhsyari mendefinisikan
istilah kyai, dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga hal yang berbeda, yaitu:
1) Sebagai gelar kehormatan untuk barang yang dianggap
keramat, misalnya, nama gamelan atau benda lainya.
2) Sebagai gelar untuk orang-orang tua pada umumnya.
3) Sebagai gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang
ahli agama yang memiliki pesantren maupun yang tidak memiliki pesantren.
(Zamakhsyari Dhofier ,1984: 55)
Tugas seorang kyai memang multifungsi: sebagai guru, muballigh,
sekaligus manajer (Farchan dan Syarifuddin, 2005: 68-69). Sebagai guru,
kyai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar
memiliki kepribadian muslim yang utama. Sebagai muballigh, kyai berupaya
menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun berdasarkan prinsip memerintahkan
kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan sebagai manajer, kyai memerankan
pengendalian dan pengaturan pada bawahannya.
Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi kyai: Pertama,
sebagai agen budaya. Kyai memainkan peran sebagai penyaring budaya yang
merambah masyarakat. Kedua, kyai sebagai mediator, yaitu menjadi
penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok
elite dengan elemen masyarakat lainnya. Ketiga, sebagai makelar budaya
dan mediator. Kyai menjadi penyaring budaya sekaligus penghubung berbagai
kepentingan masyarakat (Oemar Hamalik, 2006: 142-143).
Seorang kyai tidak saja berperan sebagai filter budaya akibat perubahan
yang dibawa arus informasi, namun juga memelopori terjadinya perubahan masyarakat
menurut caranya sendiri. Kendatipu derasnya informasi yang masuk, kyai tidak
akan kehilangan peranannya bila ia masih sanggup menjaga prinsip-prinsip dan
keulamaannya sebagaimana dikatakan oleh Geert dan Horikoshi (Ahmad Tafsir,
2004: 196).
Untuk menjadi seorang kyai,
seseorang harus memulai proses yang panjang. Ia biasanya memiliki hubungan
kekerabatan dengan seseorang kyai. Setelah ia menyelesaikan pelajarannya di berbagai
pesantren, kyai pembimbingnya terakhir akan melatih untuk mendirikan sebuah
pesantren. Kemudian ia akan diberikan didikan khusus untuk mengembangkan bakat
kepemimpinanya, misalnya diberikan tugas khusus mengajar kitab-kitab yang
ditentukan kyai dan biasanya kitab-kitab yang diajarkannya merupakan kitab menengah
ke atas (Zamakhsyari Dhofier, 1984 : 59). Menurut Aboebakar Atjeh, seseorang
untuk dapat menjadi kyai pertama-tama ia harus diterima masyarakat sebagai
kyai. Untuk menjadi kyai tidak memerlukan kriteria formal seperti persyaratan
studi atau ijazah sekolah formal, namun demikian, seseorang kyai harus memenuhi
kriteria pengetahuannya, kesalehannya, keturunannya, dan jumlah murid (Karel A.
Steenbrink dalam Fuad Asnawi, 2008: 54).
2) Pengertian santri.
Santri adalah siswa yang tinggal dalam Pesantren, guna
menyerahkan diri. Penyerahan ini merupakan syarat mutlak untuk memungkin
dirinya menjadi anak didik kyai dalam arti sepenuhnya. Santri harus memperoleh
kerelaan kyai dengan cara mentaati sekaligus melayani kehendaknya. Kerelaan
kyai inilah dalam kalang pesantren disebut dengan “barakah”. Pelayanan harus
dianggap tugas terhormat yang merupakan ukuran penyerahan diri santri.
(Abdurrahman Wahid, 1399 H :23)
Seorang Santri begitu memasuki Pesantren sudah
diperkanalkan kepada sebuah dunia tersendiri, artinya, peribadatan menempati
kedudukan tertinggi. Ia akan rela menaati kyai atau guru-gurunya, karena hal
ini merupakan menifestasi penyerahan diri secara mutlak yang diyakininya
merupakan kerja ibadat. Seorang santri selalu menerima semua yang diajarkan
tanpa ada kebutuhan untuk menanyakanya, karena sikap menerima dan rela apa yang
diberikan kyai adalah sikap beribadat pula. Menurut Zubaidi Habibullah,
kepatuhan santri terhadap kyai tidak ditujukan kepada orangnya, kedudukan, atau
gelar yang disandangnya, melainkan kepada Karamah ,’ Kemuliaan yang
diberikan Allah kepada kyai’, yakni dalam wujud keilmuanya, ketinggian ilmunya,
dan ketinggian akhlaknya. Kenyataan ini sekaligus menunjukan bahwa ketundukan
santri kepada kyai disebabkan karena performance, realisasi kompetensi
keagamaan, yang dimiliki kyai akibat dari pancaran jiwa dari karamah kyai.
Dengan demikian, meski ada batas struktur sosial secara normatif antara kyai
dengan santri, namun derajat keduanya masih dalam ketundukan dan keimanan
kepada Allah. (Tamyiz Burhanuddin, 2001:111)
3) Pengajaran kitab klasik
Di kalangan pondok pesantren, kitab klasik (al-kutub al-qadimah)
disebut juga kitab kuning. Yang dimaksud dengan “kitab kuning” adalah istilah
yang biasa dipakai di lingkungan pesantren untuk kitab-kitab karangan ulama
arab pada abad XII sampai dengan abad XV Masehi yang dijadikan standar pengajaran ilmu agama di hampir semua
pesantren-pesantren di Indonesia melalui pengajaran yang sifatnya nonklasikal
( Sudjoko Prasodjo, 1974: 1). Bahkan karena tidak dilengkapi dengan sandangan (syakl),
kitab kuning juga kerap disebut oleh kalangan Pondok Pesantren sebagai “kitab
gundul.” Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari
kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini dengan
“kitab kuno.”
Dalam tradisi intelektual Islam untuk penyebutan istilah kitab karya
ilmiah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format
penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub
al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub
al-‘ashriyyah). Apa yang disebut dengan kitab kuning adalah pada dasarnya
mengacu pada kategori pertama yakni kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Pengajaran kitab-kitab ini meskipun berjenjang namun materi yang
diajarkan kadang-kadang berulang-ulang. Hanya berupa pendalaman dan perluasan
wawasan santri. Memang ini menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan pengajaran
Pondok Pesantren yang diselenggarakan berdasarkan sistem (kurikulum) kitabi.
Berdasarkan pada jenjang ringan beratnya muatan kitab. Tidak berdasarkan
tema-tema yang memungkinkan tidak terjadinya pengulangan, namun secara
komprehensif diajarkan pemateri pada para santri. Meski diajarkan dengan sistem
kitabi tetap terjaga sistematika kitab berdasarkan pada cabang ilmu (fan-nya)
(Depag RI, 2003: 50-51).
f.
Sistematika Pendidikan
Pesantren
1)
Kurikulum
Pesantren
Penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran Pondok Pesantren
berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tidak ada keseragaman dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada sebagian Pondok Pesantren,
sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang makin lama semakin
berubah, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di Indonesia serta tuntutan
dari masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren sendiri. Sebagian lagi tetap
mempertahankan sistem pendidikan dan pengajarannya yang semula. Karena yang
terpenting adalah terselenggaranya pengajian Pondok Pesantren sebagai satu ciri
utama (Depag RI, 2003: 40-41).
Selama ini kurikulum dianggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan,
termasuk pendidikan Islam. Karena itu, perhatian para guru, dosen, kepala
sekolah/madrasah, ketua, rektor, maupun praktisi pendidikan terkonsentrasi pada
kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah penentu utama. Dalam kasus pendidikan di
Indonesia misalnya, problem paling besar yang dihadapi adalah masalah
kesadaran, meskipun bukan berarti kurikulum tidak menimbulkan problem. Jika
diamati, kurikulum pesantren pada masa lalu yang sederhana mampu melahirkan
kyai-kyai besar, sementara kurikulum pesantren masa kini justru tidak mampu
melahirkan kyai-kyai besar. Jika diperhatikan dari sisi kesadaran akan mudah
dijawab, tetapi bila diperhatikan dari segi kurikulum, lebih sulit dijelaskan (Mujamil
Qomar, 2007: 149-151).
Kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri-ciri tertentu. Al Syaibani
mencatat cirri-ciri tersebut sebagai berikut:
a) Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai
tujuan, kandungan, metode, alat, dan tekniknya.
b) Memiliki perhatian yang luas dan kandungan yang
menyeluruh.
c) Memiliki keseimbangan antara kandungan kurikulum dari
segi ilmu dan seni, kemestian, pengalaman, dan pengajaran yang beragam.
d) Berkecenderungan pada seni halus, aktivitas pendidikan
jasmani, latihan militer, pengetahuan teknik, latihan kejuruan, dan bahasa
asing untuk perorangan maupun bagi mereka yang memiliki kesediaan, bakat, dan
keinginan.
e) Keterkaitan kurikulum dengan kesediaan, minat,
kemampuan, kebutuhan, dan perbedaan perorangan di antara mereka (Omar Muhammad
Al Syaibani, 1979: 490-512).
Abdurrahman Wahid (1399 H: 135) menyatakan bahwa kurikulum yang
berkembang di Pondok Pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang
tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok sebagai berikut:
a) kurikulum itu ditujukan untuk mencetak “ulama” di
kemudian hari;
b) struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran
pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam
bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kyai/gurunya;
c) secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak
lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun
kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya, bahkan pada Pondok Pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk
sekolah sekalipun.
Dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja, kurikulum dengan
karakteristik di atas telah menghasilkan alumni yang memiliki lapangan-lapangan
kerja “tradisional” seperti menjadi guru, petani, pedagang kecil, pejabat pemerintah
pada jabaran yang tidak membutuhkan spesialisasi, dan seterusnya. Karena
pendidikan yang diberikan tidak menjurus kepada spesialisasi tertentu di luar
penguasaan pengetahuan agama, maka tidaklah dapat diminta dari pesantren
menurut pola di atas untuk menyediakan tenaga kerja yang terdidik khusus untuk
sesuatu jenis pekerjaan. Sifatnya yang ditekankan pada pembinaan pribadi dengan
sikap hidup tertentu yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk
lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya.
Dalam pembelajaran yang diberikan oleh Pondok Pesantren kepada
santrinya, sesungguhnya Pondok Pesantren mempergunakan suatu bentuk “kurikulum”
tertentu yang telah lama dipergunakan. Yaitu dengan sistem pengajaran tuntas
kitab yang dipelajari (kitabi) yang berlandaskan pada kitab pegangan
yang dijadikan rujukan utama Pondok Pesantren tersebut untuk masing-masing
bidang yang studi yang berbeda. Sehingga akhir sistem pembelajaran yang
diberikan oleh Pondok Pesantren bersandar kepada tamatnya buku atau kitab yang
dipelajari, bukan pada pemahaman secara tuntas untuk suatu topik (maudlu’i)
(Depag RI, 2003: 44). Penamaan batasan penjenjangan pun bermacam-macam. Ada
yang mempergunakan istilah marhalah, sanah dan lainnya. Bahkan ada pula
yang bertingkat seperti Madrasah Formal, ibtida’I, tsanawiy dan ‘aly.
Dalam pelaksanaannya sekarang ini dari sekian banyak sistem atau tipe
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren, secara garis besar dapat
digolongkan ke dalam dua bentuk yang penting:
a) Pondok Pesantren Salafiyah
Pondok Pesantren Salafiyah adalah Pondok Pesantren yang menyelenggarakan
pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam yang kegiatan pendidikan dan
pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
Pembelajaran (pendidikan dan pengajaran) yang ada pada Pondok Pesantren ini
dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis
Pondok Pesantren ini pun dapat meningkat dengan membuat kurikulum yang disusun
sendiri berdasarkan cirri khas yang dimiliki oleh Pondok Pesantren. Penjenjangan
dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun
(tema kitab) yang sama, setelah tamatnya suatu kitab.
Para santri dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan
Pondok Pesantren, dapat juga mereka tinggal di luar Pondok Pesantren (santri
kalong).
b) Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah)
Pondok Pesantren Khalafiyah adalah Pondok Pesantren yang selain
menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan
pendidikan formal (jalur sekolah), baik itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU
dan SMK), maupun jalur sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA, atau
MAK). Biasanya kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada Pondok Pesantren ini
memiliki kurikulum Pondok Pesantren yang klasikal dan berjenjang, bahkan pada
sebagian kecil Pondok Pesantren, pendidikan formal yang diselenggarakan
berdasarkan pada kurikulum mandiir, bukan dari Departemen Pendidikan Nasional
atau Departemen Agama. Penjenjangan dapat dilakukan berdasarkan pada sekolah
formalnya atau berdasarkan pengajiannya (seperti pada Pondok Pesantren
Salafiyah).
Para santri yang ada pada Pondok Pesantren adakalanya “mondok,” dalam
arti sebagai santri dan sebagai siswa sekolah. Adakalanya pula sebagian siswa
lembaga sekolah bukan santri Pondok Pesantren, hanya ikut pada lembaga formal
saja. Bahkan dapat pula santrinya hanya mengikuti pendidikan kepesantrenan saja
(takhassus).
Pada pokoknya Pondok Pesantren dengan berbagai bentuk atau tipe pola penyelenggaraannya
tetap sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat yang memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu
peningkatan keimanan dengan ibadah, penyebaran ilmu ajaran Islam dengan
tabligh, dan memberdayakan potensi umat serta menerapkan nilai-nilai
kemasyarakatan yang baik dengan amal saleh (Depag RI, 2003: 41-43).
2) Manhaj dan Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan
untuk menyampaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan Pondok
Pesantren, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab
rujukan yang dijadikan pegangan oleh Pondok Pesantren tersebut. Pemahaman
terhadap teks-teks ajaran tersebut dapat dicapai melalui metode pembelajaran
tertentu yang biasa digunakan oleh Pondok Pesantren. Selama kurun waktu yang
panjang, Pondok Pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode: weton
atau bandongan, sorogan, dan hafalan (tahfidz). Di beberapa Pondok
Pesantren dikenal metode munazharah. Metode-metode ini dapat diterapkan
dalam klasikal maupun non-klasikal.
1) Metode Sorogan
Pengajaran sistem Sorogan dilaksanakan dengan cara santri
menyodorkan sebuah kitab dihadapan kyai, kemudian kyai memberikan tuntunan bagaimana cara
membacanya, menghafalnya, dan dilanjutkan dengan penjabaranya. Pengajaran
dilaksanakan santri berhadapan dengan kyai satu persatu. ( Sudjoko Prasodjo
dkk, 1982 :53)
2) Metode Bandongan (Wetonan)
Sistem pengajian berbentuk halaqah (lingkaran) atau
disuatu tempat, dimana kyai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan
persoalan-persoalan yang disebutkan dalam teks yang dipelajari. Ciri utama
pengajaran ini adalah pemberian pengajaran yang ditekankan pada penangkapan harfiyyah
(letterljk) atas suatu kitab. Pendekatan yang digunakan adalah
menyelesaikan pembacaan kitab ( teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan
membaca kitab yang lain. ( Aburrahman Wahhid, 1399 H:73).
Metode Sorogan dan Bandongan masih bersifat pasif
dimana belum terjadi dialog antara santri dan kyai. Kedua metode ini sama-sama
memiliki ciri pada penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau
literal. Kedua metode ini dapat bermanfaat ketika jumlah peserta didik cukup
banyak dan waktu yang tersedia relative sedikit, sementara materi yang harus
disampaikan cukup banyak. Tidak adanya dialog antara santri dan kyai menjadikan
santri pasif, akhirnya daya kreatifitas dan aktivitas santri menjadi lemah.
Untuk mengatasinya, sebaiknya guru/kyai menyediakan waktu yang cukup untuk
terjadinya dialog, setidaknya ada waktu dan kesempatan santri bertanya kepada kyai.
3) Metode Hafalan (tahfidz)
Metode ini telah menjadi cirri yang melekat pada
sistem pendidikan tradisional, termasuk Pondok Pesantren. Hal ini amat penting
pada sistem keilmuan yang lebih mengutamakan argument naqli, transmisi, dan
periwayatan (normatif). Akan tetapi ketika konsep keilmuan lebih menekankan
rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, metode
hafalan dianggap kurang penting. Sebaliknya, sistem pendidikan modern lebih
menekankan kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.
Metode hafalan masih relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak,
tingkat dasar dan menengah. Pada usia tingkat atas sebaiknya dikurangi dengan
mempergunakan metode ini pada rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Penekanan utama
diberikan pada metode pamahaman dan diskusi.
4) Metode Diskusi (musyawarah/munazharah/mudzakarah)
Dalam metode ini, penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara santri
membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau
masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning, atau tidak ada dalam kitab kuning
dan merupakan permasalahan baru, untuk diupayakan memecahkannya dengan merujuk
pada kitab kuning. Dalam kegiatan ini kyai atau guru bertindak sebagai
“moderator.” Dengan metode ini diharapkan dapat memacu santri untuk dapat lebih
aktif dalam belajar dan akan tumbuh serta berkembang pemikiran-pemikiran
kritis, analitis dan logis.
Adapun kegiatan mudzakarah dapat diartikan sebagai pertemuan ilmiah yang
membahas masalah diniyah. Kegiatan ini dibedakan menjadi dua macam berdasarkan
peserta, mudzakarah yang diadakan sesame kyai dan para ulama dan mudzakarah
yang diselenggarakan sesama santri. Bila untuk kyai dan para ulama kegiatan ini
lebih bertujuan untuk mencari jawaban dan jalan keluar untuk suatu masalah,
maka kegiatan yang dilakukan para santri lebih berupa melatih diri dalam
memecahkan suatu persoalan yang hasilnya kemudian diberikan kepada kyai. Dalam
diskusi santri ini, kyai kadang-kadang bertindak sebagai pimpinan diskusi atau
biasanya oleh santri senior atau bahkan para santri dibiarkan saja secara
mandiri menyelenggarakannya.
Di beberapa Pondok Pesantren mengaji kitab dengan metode di atas
berjalan cukup baik dan bahkan mampu memacu para santri untuk melakukan telaah
atas kitab-kitab yang besar-besar. Beberapa santri senior membaca beberapa
kitab dalam satu majelis dan mendiskusikannya di hadapan kyai yang lebih bertindak
sebagai fasilitator atau instruktur. Cara demikian memberikan dampak cukup baik
bagi para santri dalam pengajiannya. Di masa lalu, mengaji dengan metode ini
bahkan menjadi tradisi para ulama. Perdebatan seringkali berjalan seru, tetapi
tetap disertai dengan sikap saling menghormati dan menghargai.
5) Sistem Majelis Taklim (musyawarah/munazharah)
Metode yang dipergunakan adalah pembelajaran dengan cara ceramah,
biasanya disampaikan dalam kegiatan tabligh atau kuliah umum.
6) Metode Penulisan Karya Ilmiah
Dalam metode ini, santri menulis resume atau topik
yang ada dalam kitab kuning. Permasalahan yang diangkat bisa merupakan masalah
yang baru maupun yang sudah ada dalam kitab kuning dan merupakan studi
perbandingan. Penulisan dapat dilakukan menggunakan bahasa Arab maupun bahasa
Indonesia. Salah satu Pondok Pesantren yang telah menerapkan metode ini adalah
Pondok Pesantren Nurul Ummah Putra dan Putri. Untuk memenuhi syarat kelulusan
sebagai santri Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren tersebut, santri diwajibkan
membuat risalah (karya ilimiah).
Metode ini diharapkan dapat menghasilkan banyak
manfaat: pertama, sebagai evaluasi agar guru dapat mengetahui sejauh
mana santri mampu memahami materi-materi yang disajikan; kedua, sebagai
motivator bagi santri untuk membaca dan menelaah kitab yang diajarkan maupun
kitab lain dalam tema atau topic sejenis. Yang disebut terakhir ini di masa
mendatang bisa melahirkan para “santri penulis”. Selama kurun waktu yang cukup
panjang, tradisi menulis karya ilmiah sebagaimana dilakukan para ulama
terdahulu semakin berkurang (Depag RI, 2003: 44-47).
Ahmad Tafsir mengatakan, pengajaran dipesantren
mencakup pembinaan keterampilan, kognitif, dan afektif. Untuk menanamkan rasa
iman, rasa cinta kepada Allah, rasa nikmatnya beribadah, dengan mengutip
pendapat al- Nahlawi, agaknya sulit ditempuh dengan pendekatan empiris atau
logis. Al-Nahlawi menawarkan beberapa metode untuk menanamkan rasa beriman, yakni dengan metode hiwar
(percakapan) Qurani dan Nabawi, metode kisah Qurani dan Nabawi ,
metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi, metode keteladanan,
metode pembiasaan, metode ‘ibrah (pelajaran) dan mauidzoh (nasihat), dan
metode targhib (janji) dan targhib ( ancaman). Dalam konteks
inilah metode perpujian dan metode wiridan termasuk rincian didalamya. Metode
perpujian adalah metode pembacaan doa kepada Allah atau doa kepada nabi yang
tercinta, ataupun kata-kata hikmah yang dibaca bersama-sama dengan irama lagu
sebelum melaksanakan sholat berjamaah, sedangkan metode wiridan merupakan
pengucapan doa-doa berulang-ulang bersama-sama yang dibaca setelah menyelesaikan
sholat berjamaah ( Ahmad Tafsir, 2004:135-150).
2.
Mutu Pendidikan di
Pondok Pesantren
a.
Pengertian Mutu
Pendidikan di Pondok Pesantren
Goetsch
dan Davis mendefinisikan bahwa mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi
atau melebihi harapan (Tjiptono dkk.,
2003: 4). Sedangkan Edward Sallis, mendefinisikan
bahwa mutu bukanlah suatu akhir, namun sebagai suatu alat dimana produk atau
jasa dinilai, yakni apakah telah memenuhi standar yang telah ditetapkan,
sebagaimana diungkapkan pada kutipan berikut.
“Quality is not the end in itself, but a
means by which the end produc is judged to be up to standart” (Sallis, 1993: 23).
Kualitas
sebagai konsep relatif memiliki dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek
transformasional. Aspek Prosedural adalah mutu jasa atau produk yang dihasilkan
sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan
aspek transformasional adalah ukuran mutu lebih mengarah pada peningkatan mutu
dan perbaikan organisasi. Aspek ini meliputi, (1) pelayanan prima pada
langganan, tanggung jawab sosial yang tinggi, kepuasan pelanggan, dan
perawatan, (2) pelanggan dinomorsatukan, (3) di lingkungan pendidikan, budaya
transformasional adalah fungsi dari motivasi yang dimiliki pendidik. Secara
umum mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa
yang menunjukan kemampuannya dalm memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang
tersirat (Adi Putra, 2014: 49).
Dengan demikian ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mulyasa sebagai
berikut:
“Pendidikan yang
bermutu bukan hanya dilihat dari kualitas lulusannya saja, tetapi juga mencakup
bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesauai dengan
standar mutu yang berlaku. Pelanggan dalam hal ini adalah pelanggan internal
(tenaga kependidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua,
masyarakat serta pemakai lulusan)” (Mulyasa, 2004: 226).
Departemen
Pendidikan Nasional mengartikan mutu sebagai gambaran dan karakteristik
menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan
kebutuhan yang diharapkan. Dalam konteks
pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (DepDikNas, 2005: 6).
Input
pendidikan meliputi sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
terjadinya proses. Sesuatu di sini berupa sumber daya, perangkat lunak, dan
harapan-harapan sebagai pemandu berlangsungnya proses. Sumber daya yang
dimaksud adalah sumber daya manusia, yakni kepala madrasah, guru, karywan, dan
siswa. Selain itu, sumber daya selebihnya yakni: peralatan, perlengkapan,
fasilitas ruang, dan sebagainya. Perangkat lunak mencakup: struktur organisasi
sekolah, job description, planning, program dan sebagainya.
Sedangkan harapan-harapan yang dimaksud di sini berupa visi, misi, tujuan, dan
sasaran yang ingin dicapai madrasah. Kesiapan input diperlukan untuk dapat
tercapainya proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, tinggi
rendahnya mutu input dapat dapat diukur dari tingkatan kesiapan input. Makin
tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input.
Proses
pembelajaran merupakan proses berubahnya dari sesuatu menjadi sesuatu yang
lain. Hal-hal yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input,
sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Pada skala kecil/sekolah,
proses di sini adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan,
pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan monitoring serta evaluasi. Dalam hal ini proses
pembelajaran menempati tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan
proses-proses lain.
Proses
dikatakan bermutu tinggi jika pengoordinasian, pemaduan, dan penyerasian input dilakukan
secara harmonis, sehingga mampu menciptakan suasana pembelajaran yang
menyenangkan (enjoyable learning),
mampu menigkatkan minat dan motivasi belajar, serta dapat membedayakan peserta
didik. Peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan saja, namun dapat
memahami, menghayati, dan merealisasikan dalam kegiatan atau perilaku nyata
dalam kehidupan sehari-hari.
Output pendidikan, merupakan hasil kinerja sekolah
yaitu prestasi yang dihasilkan dari proses atau perilaku sekolah. Kinerja
sekolah dapat diukur dari kualitas, efektifitas, produktifitas, inovasi,
kualitas kehidupan kerja dan moral kerja serta efesiensinya. Output pondok
pesantren dikatakan berkualitas tinggi jika prestasi pesantren, khususnya
prestasi peserta didik menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam prestasi
akademik dan prestasi non-akademik (DepDikNas, 2005: 6).
Mutu
sebagaimana dikemukakan Sallis, ada dua macam yakni mutu absolut da mutu
relatif. Mutu absolut adalahpencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan,
produk, dan layanan. Mutu absolut tersebut identik dengan harga yang tinggi dan menjadi kebanggaan pemakainya. Sedangkan
mutu relatif adalah pencapaian standar dalam mutu tertentu dalam suatu
pekerjaan ataupun produk barang yang sudah ditetapkan sebelumnya, dan dengan
demikian mutu bukanlah suatu akhir yang tidak ada peluang perbaikan lagi
(Sallis, 1993: 22-23).
b.
Aspek-aspek Mutu Pendidikan
di Pondok Pesantren
Dalam rangka mengukur kualitas yang dihasilkan
(produk) oleh lembaga pendidikan terdapat delapan aspek yang perlu
diperhatikan, yang mencakup:
1) Performance,
sesuatu yang berkaitan dengan aspek fungsional dari produk tersebut. Suatu
produk dikatakan bermutu apabila mempunyai fungsi yang sesuai dengan
kegunaannya.
2) Features,
sesuatu yang berkaitan dengan pilihan dan pengembangannya yang mempunyai
keistimewaan sebagai tambahan.
3) Keandalan (reability), berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam penggunaan
produk tersebut. Sehingga dibutuhkan kehandalan dalam memberi pelayanan sesuai
yang dijanjikan.
4) Serviceability, kemudahan dalam memperbaiki, tersedia suku cadangnya dan tanggap dalam
menangani keluhan pelanggan.
5) Konfirmasi (Conformance), tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang
telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
6) Durability, berkaitan
dengan daya tahan atau masa pakai dari produk tersebut.
7) Estetika (aesthetic), desain dan pembungkusan dari produk itu, sehingga
pelanggan tertarik untuk memakai atau menggunakan produk tersebut.
8) Kualitas yang dirasakan (perceived quality),
perasaan pelanggan dalam menggunakan produk tersebut (Vincent Gaspers, 2001:
129-130).
c.
Faktor-faktor Mutu
Pendidikan di Pondok Pesantren
Permasalahan mutu di dalam lembaga pendidikan Islam
(termasuk Pondok Pesantren) merupakan permasalahan yang paling serius dan
paling kompleks. Mutu pendidikan yang dimaksudkan adalah kemampuan lembaga
pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan belajar seoptimal mungkin (Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, 1993: 159).
Nanang Fatah (2000: 56) menyatakan faktor internal
yang memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu, yaitu:
1) Kesejahteraan guru
2) Kemampuan guru
3) Sarana kelas
4) Buku-buku pelajaran
Sedangkan faktor lain yang
lebih rinci adalah sebagai berikut:
1) Siswa, terutama yang menyangkut kesiapan dan motivasi
belajarnya.
2) Guru, terutama menyangkut kemampuan professional,
moral kerja (kemampuan personal), dan kerja samanya (kemampuan sosial).
3) Kurikulum, terutama menyangkut relevansi isi dan
operasionalisasi proses pembelajarannya.
4) Dana, sarana, dan prasarana, terutama menyangkut
kecukupan dan efektivitas dalam mendukung proses pembelajaran.
5) Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan
tinggi) terutama menyangkut partisipasi mereka dalam pengembangan
program-program pendidikan di lembaga pendidikan (Mujamil Qomar, 2007: 205).
Mutu pendidikan pesantren bersifat aplikatif, dalam
artian mutu sebuah pembelajaran harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan
sehari-hari. Hal tersebut didasarkan adanya pandangan di kalangan pesantren
bahwa puncak keilmuan dan buah dari ilmu adalah pengamalan dan perbaikan sikap.
Di pesantren dikenal istilah ”al-‘Ilmu bila ‘amalin ka al-syajari bila
tsamarin”, bahwa ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon tidak berbuah, indah
dilihat tapi tidak memberi kemanfaatan apa pun bagi sekitarnya. Kenyataan ini
menuntut siswa mengamalkan ilmu yang mereka pelajari.
Sebagaimana dikutip dalam kitab Tafhimul Muta’allim
yang diterjemahkan oleh KH. Hummam Nashiruddin (1963: 55), menurut Ali bin
Abu Talib, kualitas seseorang dalam mencari ilmu ditentukan oleh 6
faktor, yaitu adanya kecerdasan, cinta ilmu, kesabaran, bekal biaya, petunjuk
guru yang dipilih, dan masa pendidikan yang lama, sebagaimana tercantum dalam nadhom,
‘bait’, berikut:
“Ingatlah, kamu
tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara yang akan
kujelaskan semua kepadamu secara ringkas, yakni: kecerdasan, cinta ilmu,
kesabaran, bekal biaya, petunjuk guru, dan masa yang lama.”
1) Kecerdasan
Kecerdasan merupakan syarat seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan.
Kecerdasan di sini dapat diartikan cepat mengerti atau memahami. Kecerdasan
bagi seorang santri termasuk dalam bertindak dan bersikap. Seorang santri
hendaknya memiliki kesungguhan, keuletan, dan cita-cita yang luhur.
2) Cinta Ilmu
Berdasarkan kata asli yang digunakan, yaitu Hirshin,
menurut kamus Bahasa Arab Al-Munawwir berarti ketamakan. Bagi santri yang
menuntut ilmu ketamakan akan ilmu sangat dibutuhkan. Ketamakan inilah yang
menjadikan santri cinta akan ilmu.
Cinta kepada ilmu merupakan faktor yang mendukung keberhasilan dalam
pembelajaran. Berbagai ayat Al Qur’an dan dan hadis yang berkaitan dengan
pentingnya ilmu pengetahuan menjadi motivasi bagi para santri untuk mencintai
dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi
setiap muslim sebagaimana hadis nabi. Oleh karenanya, seorang muslim mencintai
ilmu pengetahuan didasarkan atas adanya kewajiban dalam menuntut ilmu .
3) Kesabaran
Di dalam Kitab Tafhimul Muta’allim yang merupakan terjemahan Kitab
Ta’limul Muta’allim (KH. Hummam Nashiruddin, 1963: 52-55) dikatakan bahwa
keberanian tidak bergantung pada kekuatan fisik (badan), tetapi keberanian itu
berhubungan dengan kesabaran dan ketahanan uji. Sehingga dianjurkan bagi para
santri yang sedang menuntut ilmu untuk bersabar. Termasuk sabar adalah betah
belajar dengan satu guru dan satu kitab sehingga tidak meninggalkan guru atau
kitab tersebut sebelum selesai dengan sempurna. Termasuk juga sabar mempelajari
salah satu cabang ilmu, seperti cabang ilmu Fiqh, sehingga santri diharapkan
tidak terburu-buru berganti cabang ilmu yang lain sebelum cabang ilmu
sebelumnya dipelajari dengan sempurna.
Santri juga diharapkan sabar menetap dalam satu pondok, dan menghindari
berpindah-pindah pondok jika bukan karena keadaan darurat. Dikatakan bahwa
berpindah-pindah pondok dapat mengganggu fokus atau konsentrasi santri,
menyia-nyiakan waktu dan juga bermasalah dengan guru. Sehingga santri harus
dapat menahan keinginan yang berasal dari hawa nafsunya. Termasuk di dalamnya
sabar dalam kesederhanaan selama di Pondok Pesantren. Santri juga diharapkan
sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian selama menuntut ilmu di Pondok
Pesantren, karena kesuksesan hanya bisa diraih melalui berbagai cobaan dan
ujian.
4) Petunjuk Guru
Keberadaan guru dalam seluruh kehidupan santri demikian pentingnya,
sehingga santri harus mempertimbangkan betul-betul sebelum memutuskan untuk
belajar dengan seorang guru. Dalam memilih guru, seorang santri hendaknya
memilih guru yang betul-betul ‘alim yakni ahli dalam ilmu agama), aris
yakni bijaksana, wira’I yakni orang yang selalu menahan diri dari
perbuatan yang dilarang ataupun makruh ataupun yang belum jelas-jelas
diperkenankan oleh agama, dan juga lebih tua atau berpengalaman (KH. Hummam
Nashiruddin, 1963: 45).
Berkaitan dengan keberadaan guru, sangat penting bagi seorang santri
untuk menghormati guru. Penghormatan terhadap guru sangat mempengaruhi
keberhasilan dan kemanfaatan ilmu bagi seorang santri. Dikatakan dalam Kitab
Ta’limul Muta’allim (1963: 61-62), Ali bin Abu Talib berkata:
“Aku adalah budak dari seseorang yang telah mengajarkan kepadaku, walau
hanya satu huruf. Jika orang tersebut berkeinginan menjual aku, maka
terjadilah. Jika berkehendak memerdekakan aku, atau menetapkan aku jadi
budaknya, maka berlakulah.”
Termasuk menghormati guru di antaranya adalah menjaga agar jangan sampai
berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru, tidak memulai
pembicaraan sebelum guru tanpa seizin guru, tidak banyak bicara di depan guru,
mempertimbangkan kapan dan apa dalam bertanya kepada guru, dan melaksanakan
perintah guru yang tidak bertentangan dengan agama.
5) Bekal Biaya
Dalam menuntut ilmu pengetahuan dibutuhkan biaya yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan santri dalam rangka menunjang keberhasilannya dalam menuntut
ilmu di Pondok Pesantren.
6) Masa yang lama
Syarat terakhir pembelajaran di Pondok Pesantren adalah masa yang lama.
Dalam kultur pesantren dimensi yang diberlakukan memiliki corak tersendiri yang
terlihat pada lamanya belajar di pesantren. Tidak terdapat ukuran tertentu mengenai
lamanya massa belajar di pesantren karena penentuannya diserahkan kepada santri
sendiri sehingga sering dijumpai santri yang belajar bertahun-tahun di sebuah
pesantren meskipun sudah menyelesaikan jenjang pendidikannya, sampai ia
dipanggil orang tuanya untuk berumah tangga. Dalam hal ini dikenal ungkapan “uthlubul
‘ilma minal mahdi ila al-lahdi”, mencari ilmu sejak dalam buaian sampai
liang lahat. Ki Hajar Dewantara menyatakan, “Pada saat tertentu pendidikan
dengan sengaja dapat berakhir, tetapi pendidikan diri sendiri akan berjalan
terus menerus.”
Masa yang lama dalam memperoleh pengetahuan tersebut dalam kaitannya
dengan “long life education”, pembelajaran seumur hidup, dapat diartikan
santri dalam memperoleh pengetahuan melalui proses pembelajaran maupun proses
pemerolehan sejalan dengan kian meluasnya pengetahuan tentang dunianya.
3.
Manajemen Sumber Daya
Manusia
a.
Pengertian
Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen berasal dari
bahasa Latin, yaitu berasal dari kata “manus”
yang berarti tangan dan “agree” yang
berati melakukan. Penggabungan kata manus
dan agree menjadi kata kerja “managere”, yang berarti menangani. Kata
“managere” diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to
manage, dengan kata benda management¸
dan manager untuk orang yang yang
melakukan kegiatan majemen. Manajemen akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “manajemen”
yaitu penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai suatu sasaran.
Sedangkan Departemen Agama memberikan batasan, manajemen adalah suatu proses
sosial yang direncanakan untuk menjamin kerja sama, partisipasi, dan
keterlibatan sejumlah orang dalam mencapai sasaran dan tujuan tertentu yang
ditetapkan secara efektif (Fuad Asnawi,
2008: 62).
Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen
keorganisasian yang memfokuskan diri pada sumber daya manusia. Adalah tugas
MSDM untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang
puas akan pekerjaannya. Menurut Husein Umar ( 2004: 3) Mengelompokkan tugas
MSDM atas tiga (3) fungsi manajerial : perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan dan pengendalian; fungsi operasional : pengadaan, pengembangan,
kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja; fungsi
ketiga adalah kedudukan MSDM dalam pencapaian tujuan organisasi perusahaan
secara terpadu.
Sedangkan
sumber daya manusia menurut Nawawi Hadari ada tiga. Pertama, sumber daya
manusia adalah manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut
juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan). Kedua, sumber daya manusia
adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan
eksistensinya. Ketiga, sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan aset
dan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) dalam organisasi
bisnis yang dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi
organisasi.
Ada
beberapa pengertian dari manajemen sumber daya manusia yang dikemukakan oleh
para ahli. Mutiara Sibarani mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia
adalah suatu proses yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian,
pemimpinan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan analisis
pekerjaan, evaluasi pekerjaan, pengadaan, pengembangan, kompensasi, promosi,
dan pemutusan kerja guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hani Handoko
mengatakan manajemen sumber daya manusia adalah penarikan, seleksi,
pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai
tujuan individu maupun tujuan organisasi. Kemudian Malayu S.P. Hasbuan dalam
bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia, mengatakan bahwa manajemen sumber daya
manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar
efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan/lembaga pendidikan,
karyawan dan masyarakat.
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen sumber daya manusia
adalah kemampuan mengatur dan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk
dimafaatkan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan bersama
yang telah ditentukan oleh suatu lembaga dan mampu mengintegrasikan antara
sumber daya manusia dengan yang lainnya. Karena baik atau tidaknya suatu
lembaga tergantung dengan sumber daya manusia dan bagaimana mengatur sumber
daya manusia tersebut (Adi Putra,
2014: 19-21).
b.
Komponen Manajemen
Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia pada lembaga pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu
pendidik dan tenaga kependidikan. Penelitian ini memfokuskan pada pendidik yang
terdiri dari kepala pondok pesantren dan guru/ustadz. Berikut ini akan
dipaparkan tugas dan fungsi pokok pendidik.
1) Kepala Pondok Pesantren
a) Menyusun program kerja pondok pesantren jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang.
b) Menyusun program kerja berkala (semester).
c) Menyusun program pengembangan pondok pesantren.
d) Menyusun kurikulum.
e) Melaksanakan supervisi kamar/asrama.
f) Memberikan pembianaan kepada pendidik dan tenaga
kependidikan.
2) Pendidik/guru/ustadz
a) Merencanakan pembelajaran
b) Melaksanakan pembelajaran
c) Melaksanakan kelompok kerja guru/workshop dan
sejenisnya
d) Menyusun silabus/RPP
e) Membimbing santri dalam mengembangkan bakat minat
f) Mengisi daftar nilai santri
g) Melaksanakan remidi dan pengayaan
h) Melaksanakan kegiatan bimbingan kepada teman sejawat
i)
Membuat alat
peraga
j)
Menumbuhkembangkan
sikap menghargai karya
k) Mengikuti kegiatan sosialisasi kurikulum
l)
Melaksanakan
tugas tertentu
m) Mengadakan pengembangan program pengajaran yang
menjadi tanggung jawabnya
n) Membuat catatan tentang hasil kemajuan belajar santri
o) Mengisi dan meneliti daftar hadir santri sebelum
memulai pembelajaran.
c.
Fungsi-fungsi
Managemen Sumber Daya Manusia
Dalam rangka mencapai tujuan suatu organisasi atau lembaga pendidikan secara
efektif dan efisien manajemen harus difungsikan sepenuhnya pada setiap lembaga
pendidikan atau organisasi. Untuk lebih jelas terperinci berikut ini sesuai
dengan pendapat Gary Dessler dalam bukunya Manajemen sumber daya manusia (Human
Resources Management, 1997: 2) mengatakan bahwa manajemen sumber
daya manusia meliputi:
1) Melakukan analisis jabatan (menetapkan sifat dan pekerjaan masing-masing
karyawan)
2) Merencanakan kebutuhan tenaga kerja dan merekrut para calon pekerja
3) Menyeleksi para
calon pekerja
4) Memberikan orientasi dan pelatihan bagi karyawan baru
5) Menata-olah upah-upah dan gaji (cara mengkompensasi karyawan)
6) Menyediakan insentif dan kesejahteraan
7) Menilai kerja
8) Mengkomunikasikan (wawancara, penyuluhan, pendisiplinan)
9) Pelatihan dan pengembangan
10) Membangun komitmen karyawan
11) Apa yang hendaknya diketahui seorang manajer
12) Peluang yang adil dan tindakan afirmatif
13) Kesehatan dan keselamatan karyawan
Sunarto dan Sahedhy Noor (2001: 3) membagi fokus perencanaan sumber daya
manusia menjadi 3, yaitu sempit, sedang, dan lebar. Rincian ketiga pembagian
tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1. Fokus Perencanaan Sumber Daya Manusia
|
||
Sempit
|
Sedang
|
Lebar
|
·
Perekrutan
·
Penyeleksian
|
·
Perekrutan
·
Penyeleksian
·
Pelatihan dan pengembangan
|
·
Perekrutan
·
Penyeleksian
·
Pelatihan &
pengembangan
·
Sistem imbalan
·
Sistem informasi sumber
daya manusia
·
Kesehatan &
keselamatan
·
Penilaian
|
Dalam tesis ini, peneliti menggunakan Fokus Perencanaan Sumber Daya
Manusia dalam kelompok sedang yang terdiri dari 7 kegiatan pokok saja, yaitu:
1) Perencanaan
2) Rekrutmen dan seleksi
3) Orientasi dan penempatan
4) Pengembangan karir
5) Pelatihan dan pengembangan
6) Kompensasi
7) Penilaian kerja
Berikut adalah penjelasan dari fungsi-fungsi tersebut
di atas:
1) Perencanaan
Perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan sekarang
tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang. Menurut Ngalim
Purwanto perencanaan adalah aktivitas memikirkan dan memilih rangkaian
tindakan-tindakan yang tertuju pada tercapainya maksud-maksud dan tujuan
pendidikan (Ngalim Purwanto, 2003: 15). Perencanaan memiliki fokus perhatian
untuk menjamin tenaga kerja dalam suatu lembaga menduduki berbagai kedudukan,
jabatan, atau pekerjaan yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dan
kesemuanya dalam rangka pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang telah dan
akan ditetapkan (Sondang P. Siagaan, 2008: 41). Perencanaan yang matang lebih
memungkinkan tercapainya tujuan yang ditargetkan, oleh sebab itu perencanaan
harus berkesinambungan dan menjadi titik sentral perhatian utama.
Oleh karena itu, agar dapat mewujudkan SDM yang kompeten dan kompetitif
diperlukan kemampuan untuk mengidentifikasi SDM yang berkualitas. Usaha untuk
mengidentifikasi tersebut harus dilakukan melalui perencanaan, agar memperoleh
tenaga kerja yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan dalam
deskripsi jabatannya. Perencanaan ini disusun tidak hanya untuk memenuhi
rencana strategis baik yang bersifat jangka panjang, menengah, dan pendek, akan
tetapi juga rencana operasionalnya.
Ada lima langkah penting yang perlu diperhatikan untuk membuat
perencanaan yang baik dan efektif, yaitu sebagai berikut:
a) Perencanaan yang efektif dimulai dengan tujuan secara
lengkap dan jelas. Kemudian tujuan yang dipilih adalah tujuan yang memudahkan
dalam pencapaiannya.
b) Perumusan kebijakan. Tujuan kebijakan adalah
memperhatikan dan menyesuaikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan
faktor-faktor lingkungan apabila tujuan tercapai.
c) Analisis penetapan cara dan sarana untuk mencapai
tujuan dalam rangka kebijakan yang sudah dirumuskan.
d) Penunjukan orang-orang yang akan mengemban tanggung
jawab pengembangan termasuk orang-orang yang akean mengadakan pengawasan.
e) Penentuan sistem pengendalian yang memungkinkan
pengukuran dan pembandingan apa yang harus dicapai dengan apa yang telah
tercapai berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan (Soebagio Atmodiwirio,
2000: 5).
Tujuan utama perencanaan
dalam manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut:
a) Untuk menentukan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia yang akan mengisi semua jabatan dalam lembaga atau organisasi.
b) Menjamin ketersediaan sumber daya manusia di masa
sekarang maupun yang akan datang sehingga setiap pekerjaan ada yang
mengerjakannya.
c) Menghindari terjadinya mis manajemen dan tumpang
tindih dalam pengembangan tugas, serta menghindari terjadinya kekurangan atau
kelebihan sumber daya manusia dalam organisasi maupun unit kerja.
d) Mempermudah jalur koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi sehingga meningkatkan produktifitas kerja.
e) Menjadi pedoman dalam menetapkan program penarikan
SDM, rekrutmen dan seleksi, penempatan, pelatihan dan pengembangan, kompensasi,
penilaian kerja, dan lain-lain (Nur Choliq, 2008: 56).
2) Rekrutmen dan Seleksi
Dalam kamus bahasa Indonesia rekrutmen adalah proses atau cara perbuatan
merekrut (memasukkan atau mendaftarkan calon anggota baru (Peter Salim, 1992:
1254). Menurut Andrew E. Sikula yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara
dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (2009: 33) mengatakan bahwa:
“recruitment is the act or process of an organization attemping to
obtain additional manpower for operational purpose. Recruiting involves
acquiring human resources to serve as institutional input.” (Rekrutmen adalah tindakan atau proses dari suatu organisasi untuk
mendapatkan tambahan pegawai untuk tujuan operasional).
Lebih lanjut Arun Monappa dan Mirza S. Saiyadain mengatakan:
“recruitment is the generating of applications or application for
specific position.” (Rekrutmen adalah memproses lamaran atau memproses
calon-calon pegawai untuk posisi pekerjaan tertentu.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rekrutmen
adalah usaha atau proses yang dilakukan oleh organisasi sekolah/madrasah untuk
mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan yang dibutuhkan
dalam rangka mencapai tujuan yang efektif dan efisien.
Ada tiga langkah yang harus diperhatikan dalam merekrut tenaga kerja
untuk lembaga pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a) Penentuan jabatan yang kosong
Langkah ini dilakukan apabila ada jabatan yang kosong yang harus diisi
oleh pegawai baru. Kekosongan tersebut dapat terjadi karena pension,
mengundurkan diri, mutasi, meninggal dunia, bahkan karena pemecatan.
b) Penentuan persyaratan jabatan
Biasanya penentuan persyaratan jabatan meliputi kriteria seperti
keahlian, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang tentunya sesuai dengan
jabatan yang dibutuhkan.
c) Penentuan sumber dan metode rekrutmen
Untuk sumber rekrutmen calon pegawai, secara umum ada dua yaitu sumber
internal dan sumber eksternal. Sumber internal adalah orang-orang yang sudah
menjadi pegawai di sekolah/madrasah, dan yang sudah menduduki jabatan tertentu
yang mungkin dapat dipindahkan (mutasi), dipromosikan, atau didemo (demosi)
untuk mengisi jabatan yang kosong. Sedangkan sumber eksternal adalah
orang-orang yang belum menjadi pegawai yang akan ditarik untuk menjadi calon
(Marihot T.E.H., 2005: 105-118).
Untuk metode rekrutmen ada dua metode yang dapat dilakukan metode sumber
internal dan eksternal. Untuk metode sumber internal meliputi:
i.
Metode tertutup,
yaitu calon pegawai diperoleh dengan cara pimpinan memberikan atau
menominasikan beberapa orang sebagai calon untuk dipromosikan.
ii.
Metode terbuka,
yaitu melalui job posting, yaitu organisasi/sekolah/madrasah mengumumkan
jabatan yang kosong pada papan pengumuman, pengumuman lisan, atau media lain
sehingga memberikan kesempatan kepada semua pegawai untuk mengajukan lamaran
secara formal.
Sedangkan untuk
metode rekrutmen sumber eksternal meliputi:
i.
Walk-in dan write-in
Walk-in adalah di manajemen pelamar atau pencari kerja
dimungkinkan atau diperbolehkan mendatangi sekolah/madrasah untuk menyampaikan keinginannya
menjadi pegawai. Write-in dilakukan melalui pengiriman surat lamaran.
ii.
Employee
Referral (rekomendasi pegawai), yaitu
pendekatan yang dilakukan untuk menarik calon pegawai melalui referensi atau
rekomendasi dari pegawai sekolah/madrasah yang sudah ada, ini bertujuan para
pekerja sangat mengenal orang-orang yang memiliki profesi dan potensi untuk
melakukan pekerjaan yang sama.
iii.
Advertising
(iklan), metode ini dilakukan melalui pengiklanan di
media massa baik elektronik maupun cetak.
iv.
Open House, yaitu mengundang calon-calon potensial untuk
mendengarkan informasi mengenai sekolah/madrasah dengan berbagai cara seperti
pameran, memutar film mengenai fasilitas dan aktivitas sekolah/madrasah, dengan
harapan dapat menarik calon-calon pegawai yang memiliki potensi.
Sedangkan
seleksi adalah serangkaian langkah kegiatan yang digunakan untuk memutuskan
apakah pelamar diterima atau tidak. Langkah-langkah ini mencakup pemaduan
kebutuhan-kebutuhan kerja pelamar dan organisasi. Demikian juga menurut Werther
dan Keith Davis mengatakan bahwa seleksi adalah rangkaian kegiatan dan
langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk menetapkan pegawai yang diterima
atau ditolak dan berhak menerima gaji/upah (Handoko T.H., 1995: 85).
Di dalam
seleksi terdapat sejumlah alat dan metode seleksi yang digunakan, berikut ini
adalah alat dan metode seleksi yang biasa digunakan oleh sekolah/madrasah:
a)
Penerimaan
pendahuluan (preliminary reception)
Penerimaan pendahuluan adalah di mana calon diminta
mendatangi sekolah/madrasah. Tahap ini berguna untuk saling melengkapi antara
pelamar dan sekolah/madrasah mengenai informasi masing-masing yang dilakukan
dengan wawancara.
b)
Ujian Penerimaan
(employment test)
Tes atau
ujian merupakan salah satu teknik yang luas digunakan dalam proses seleksi. Karena
tes atau ujian dapat berupa tertulis maupun praktik/simulasi (Handoko T.H.,
1995: 86)
Adapun
beberapa jenis tes yang biasa digunakan dalam menentukan calon pegawai oleh
organisasi sekolah/madrasah antara lain sebagai berikut:
i.
Psychological
Test, yaitu tes yang dilakukan
untuk mengetahui kepribadian atau temperamen seseorang. Dengan alat-alat,
simbol-simbol atau gambar-gambar.
ii.
Knowledge
Test, yaitu tes yang dilakukan
untuk mengetahui pengetahuan seseorang. Bisa tertulis atau praktik.
iii.
Performance
Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui skill
penampilan calon pegawai yang akan dibutuhkan.
iv.
Aptitude
Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui potensi
seseorang untuk ditempatkan dalam pekerjaan tertentu atau untuk dikembangkan.
v.
Intelligence
Test, yaitu tes yang digunakan
untuk mengetahui kemampuan mental seseorang secara umum (Handoko T.H., 1995:
87).
i)
Wawancara
Wawancara adalah usaha yang dilakukan untuk
mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang calon pegawai, yang nantinya
bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melihat kecocokannya dengan
pekerjaan yang dibutuhkan di sekolah/madrasah.
ii)
Penjelasan
pekerjaan secara realistis (realistic job preview)
Realistic job preview merupakan usaha memberikan gambaran atau penjelasan
realitas pekerjaan. Misalnya masalah gaji, jam kerja, beban kerja, dan
lain-lain.
3)
Orientasi
dan Penempatan
Menurut Cascio orientasi adalah pengakraban dan penyesuaian dengan
situasi atau lingkungan. Kemudian menurut Werther dan Keith Davis mengatakan
bahwa orientasi adalah mengakrabkan karyawan dengan peran, organisasi,
kebijakan organisasi, dan karyawan lain. Namun berbeda dengan Marwansyah beliau
mengatakan bahwa orientasi adalah aktivitas sumber daya manusia yang
memperkenalkan karyawan baru kepada organisasi dan kepada tugas-tugas yang
harus dikerjakan (Sedarmayanti, 2010: 114).
Ada lima langkah yang harus diperhatikan dalam orientasi untuk lembaga
pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a) Penyuluhan Pendahuluan
Tahap ini dilakukan untuk memperkenalkan pegawai baru, melalui unit
kerjanya sendiri sampai unit kerja besarnya dan sampai unit-unit kerja lainnya.
b) Penunjukan tempat tertentu (tempat ibadah, tempat dia
bekerja, perpustakaan, dan lain-lain)
c) Mengadakan pertemuan kelas
d) Pengenalan dengan karyawan/pegawai lama
e) Proses monitoring
Tujuan dan manfaat dari
orientasi adalah sebagai berikut:
a) Memperkenalkan karyawan baru dengan ruang lingkup
tempat kerja dan kegiatannya.
b) Memberikan informasi tentang kebijakan-kebijakan yang
berlaku.
c) Menghindari kemungkinan timbul kekacauan yang dihadapi
karyawan baru, atas tugas atau pekerjaan yang diserahkan kepadanya.
d) Memberikan kesempatan kepada karyawan baru untuk
menanyakan hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Manfaat dari orientasi
adalah sebagai berikut:
a) Mengurangi perasaan diasingkan.
b) Menghilangkan kecemasan dan kebimbangan pegawai
c) Menjadi lebih yakin dan lebih senang (Sedarmayanti,
2010: 115-116).
4) Pelatihan dan pengembangan
Pengembangan merupakan proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis,
konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan (Malayu
Hasibuan, 2002: 22). Sedangkan menurut Henry Sumamora pengembangan didasarkan
pada fakta, bahwa seorang karyawan akan membutuhkan serangkaian pengetahuan,
keahlian, dan kemampuan yang berkembang supaya bekerja dengan baik untuk
mencapai sukses dalam karirnya (Henry S.,1997: 343).
Sedangkan pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para
karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Pada
pelatihan inilah akan diciptakan suasana di manajemen karyawan dapat memperoleh
sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang
berkaitan dengan pekerjaan (Sondang P. Siagaan, 2008: 183).
Jadi antara keduanya memiliki perbedaan, perbedaan tersebut adalah kalau
pelatihan yang dimaksud untuk meningkatkan kemampuan para pegawai melakukan
tugas sekarang, dan pelatihan mempunyai fokus agak sempit dan harus memberikan
keahlian-keahlian yang akan bermanfaat bagi lembaga secara tepat. Sedangkan
pengembangan lebih berorientasi pada peningkatan produktifitas kerja para
pekerja pada masa yang akan datang.
Prosedur pelatihan dan pengembangan agar mendapatkan hasil yang
maksimal, diantaranya:
a) Identifikasi kebutuhan
Pimpinan menggunakan empat prosedur untuk menentukan kebutuhan pelatihan
individual dalam lembaga atau sub unit sebagai berikut: penilaian prestasi
kerja, analisis persyaratan pekerjaan, analisis organisasi dan survey karyawan.
b) Penentuan sasaran
Kegunaan penentuan sasaran adalah sebagai tolak ukur untuk menentukan
berhasil tidaknya program pengembangan dan pelatihan. Dan mempersiapkan apa
saja yang perlu dilakukan agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari
pelatihan dan pengembangan yang akan diikuti.
c) Penetapan isi program
Isi program ditentukan berdasarkan identifikasi kebutuhan dan sasaran.
Apapun isinya program hendaknya memenuhi kebutuhan lembaga dan peserta.
d) Identifikasi prinsip-prinsip belajar
Prinsip belajar yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan dalam
pelatihan dan pengembangan adalah stimulus, repetisi, partisipasi, transfer
pelatihan dan umpan balik (Sondang P. Siagaan, 2008: 188).
Ada dua metode pelatihan dan pengembangan, yakni:
a) Metode pelatihan dan pengembangan di tempat kerja (on
the job training and development)
b) Metode pelatihan dan penegmbangan di luar tempat kerja
(off the job training and development)
Job training dan
pengembangan meliputi:
a) Rotasi pekerjaan
Metode ini mengharuskan karyawan melakukan sejumlah pekerjaan, sehingga
mereka memperoleh keahlian-keahlian, pengalaman dan pengetahuan baru yang
berkaitan dengan pekerjaan tersebut.
b) Pemagangan (apprenticeship)
Karyawan melaksanakan pelatihan dan pengembangan di bawah bimbingan
rekan yang mempunyai keterampilan tinggi selama jangka waktu tertentu.
c) Intership
Metode ini hampir sama dengan magang, akan tetapi program ini bersifat
sementara, bisa dikatakan hanya sebagai pengenalan terhadap pekerjaan di suatu
lembaga pendidikan (Sondang P. Siagaan, 2008: 189).
5) Penilaian Kerja
Penilaian kerja merupakan sistem formal yang digunakan
untuk menilai kinerja individu secara periodik yang ditentukan oleh organisasi
atau institusi (Surya Darma, 2005: 14). Namun menurut Surya Darma penilaian
kerja juga dapat diartikan sebagai proses penentuan seberapa baik seseorang
melakukan tugas yang diberikan kepadanya, tentunya didasarkan kepada tujuan,
sasaran, target dan indicator yang telah ditetapkan oleh sebuah lembaga
organisasi atau institusi (Hamzah B. Uno dan Nina Lamatenggo, 2012: 87).
Adapun prinsip-prinsip dalam penilaian kinerja
meliputi sebagai berikut:
a) Relevan
Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar
untuk pekerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan
yang jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah
diidentifikasi melalui analisis jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan
dinilai dalam form penilaian.
b) Sensitivitas
Sensitivitas adalah adanya kemampuan sistem penilaian kinerja dalam
membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.
c) Reliabilitas
Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan
kata lain sekalipun instrument tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda
dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
d) Akseptabilitas
Akseptabilitas merupakan pengukuran kinerja yang dirancang dapat
diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.
e) Praktis
Praktis artinya bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah
dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.
Penilaian kinerja tidak hanya dilakukan untuk menilai, akan tetapi juga
memperbaiki kinerja. Oleh karena itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan
oleh lembaga pendidikan di dalam melakukan penilaian kinerja, yaitu:
a) Penentuan sasaran
Dalam penentuan sasaran penilaian kinerja haruslah spesifik, terukur,
menantang, dan didasarkan pada waktu tertentu. Di samping itu perlu
diperhatikan proses penentuan sasaran tersebut, yaitu diharapkan sasaran tugas
individu dirumuskan bersama-sama antara atasan dan bawahan.
b) Penentuan standar kinerja
Di dalam melakukan penilaian kinerja haruslah benar-benar objektif,
artinya bahwa dalam mengukur kinerja pegawai yang sebenar-benarnya atau yang
biasa disebut job related. Oleh karena itu sistem penilaian kinerja
harus punya standar, yang memiliki ukuran yang dapat dipercaya, mudah
dilaksanakan serta dipahami oleh penilai dan yang dinilai.
c) Penentuan metode dan pengembangan penilaian
Metode yang dimaksud di sini adalah pendekatan atau cara serta
perlengkapan yang digunakan. Metode-metode itu secara garis besar dikelompokkan
dalam dua kategori. Pertama, metode penilaian yang berorientasi pada
masa lalu. Kedua, metode penilaian yang berorientasi pada masa depan
(Marihot T.E., 2005: 199-201).
Untuk metode pertama yang berorientasi pada masa lalu dilakukan sebagai
penilaian perilaku kinerja yang dilakukan pada masa lalu sebelum penilaian
dilakukan, di antaranya sebagai berikut:
i.
Rating
scale
Rating
scale adalah penilaian yang didasarkan pada suatu skala, dari sangat memuaskan,
memuaskan, cukup, sampai sangat kurang memuaskan, pada standar-standar kinerja
seperti inisiatif, tanggung jawab, hasil kinerja, dan lain-lain.
ii.
Checklist
Checklist
adalah penilaian yang didasarkan pada suatu standar kinerja yang sudah
dideskripsikan terlebih dahulu, kemudian penilai memeriksa apakah pegawai sudah
memenuhi dan melakukannya. Standar-standar kinerja misalnya hadir dan pulang
tepat waktu, bersedia bilamana diminta lembur, patuh terhadap atasan, dan
lain-lain.
iii.
Critical
incident technique
Critical
incident technique adalah penilaian yang didasarkan pada perilaku khusus yang
dilakukan di tempat kerja, baik perilaku baik maupun perilaku yang kurang baik.
Penilaian ini dilakukan dengan observasi langsung.
Untuk metode kedua yang berorientasi pada masa yang
akan datang dilakukan sebagai penilaian akan potensi seorang pegawai untuk
melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang, di antaranya sebagai berikut:
i.
Penilaian diri
sendiri
Penilaian
ini merupakan penilaian pegawai untuk diri sendiri dengan harapan pegawai tersebut
dapat mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki di masa
yang akan datang.
ii.
Management
by Objective (MBO)
MBO
merupakan suatu program yang melibatkan pegawai dalam proses pengambilan
keputusan untuk menentukan target-target yang harus dicapainya.
iii.
Penilaian secara
psikologis
Penilaian
ini merupakan proses penilaian yang dlakukan oleh para ahli psikologis untuk
mengetahui potensi seseorang yang berkaitan dengan pengembangan pekerjaan,
seperti kemampuan intelektual, motivasi, dan lain-lain yang bersifat psikologis
(Marihot T.E., 2005: 205-213).
d) Evaluasi penilaian
Ini merupakan umpan balik kepada pegawai mengenai aspek-aspek kinerja
yang harus diubah dan dipertahankan serta berbagai tindakan yang harus diambil,
baik oleh organisasi maupun pegawai dalam upaya perbaikan kinerja di masa yang
akan datang.
Penilaian kinerja banyak memiliki tujuan seperti yang disampaikan
Stewart V dan Stewart A menyatakan bahwa penilaian kinerja dimaksudkan untuk:
i.
Pengembangan
Dari
hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai informasi untuk menentukan
pegawai yang perlu pengembangan kapasitas diri, melalui training maupun
pelatihan-pelatihan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai informasi dalam
melaksanakan counseling antara alasan dan bawahan sehingga dapat dicapai
usaha-usaha pemecahan masalah yang dihadapi pegawai.
ii.
Pemberian reward
Hasil
penilaian kinerja dapat digunakan sebagai proses penentuan kenaikan gaji,
insentif dan promosi, selain itu juga dapat digunakan sebagai informasi untuk
memberhentikan pegawai.
iii.
Motivasi
Penilaian
kinerja dapat digunakan untuk memotivasi pegawai, mengembangkan inisiatif, rasa
tanggung jawab sehingga mereka terdorong untuk meningkatkan kinerjanya.
iv.
Perencanaan SDM
Sebagai
informasi untuk pengembangan keahlian dan keterampilan serta perencanaan SDM.
v.
Kompensasi
Hasil
penilaian kinerja dapat digunakan untuk menentukan apa yang harus diberikan
kepada pegawai yang berkinerja tinggi atau rendah dan bagaimana menentukan
kompensasi yang adil.
vi.
Komunikasi
Sebagai
media komunikasi yang berkelanjutan antara atasan dan bawahan menyangkut
kinerja pegawai (Surya Darma, 2005: 14-15).
6) Pengembangan Karir
Keterlibatan lembaga pendidikan dalam pengelolaan dan perencanaan karir
pegawai menjadi keharusan karena pengelolaan karir merupakan usaha pengembangan
sumber daya manusia. Dan keterlibatan lembaga pendidikan dapat dilakukan dalam
bentuk umum dan khusus. Untuk bentuk yang lebih umum biasanya melalui
kebijaksanaan-kebijaksanaan kepegawaian seperti orientasi, memberikan pekerjaan
yang menantang, melakukan pra tinjauan jabatan yang realistis dalam perekrutan,
penilaian kerja yang berorientasi karir bukan jangka pendek, menciptakan sistem
promosi yang efektif dan lain-lain.
Sedangkan keterlibatan lembaga pendidikan dalam bentuk khusus adalah
sebagai berikut:
a) Pendidikan karir
Pendidikan karir merupakan upaya untuk merangsang, memotivasi, dan menyadarkan
pegawai akan karir yang dapat dicapai dalam organisasi dan membantu mereka
untuk merencanakannya. Pendidikan karir ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara seperti lokakarya, seminar, dan lain-lain.
b) Memberikan informasi tentang karir
Informasi yang diberikan merupakan informasi yang dibutuhkan seperti
uraian jabatan (job description), persyaratan jabatan (job
specification), dan standar kinerja (performance standart), sehingga
mereka dapat merumuskan rencana karir yang masuk akal bagi mereka melalui jalur
karir yang ada di lembaga dan paling tepat untuk ditempuh (Marihot T.E., 2005:
233-234).
Bimbingan karir yaitu upaya untuk menentukan jalur karir yang paling
tepat bagi seseorang, yang dilakukan melalui penyadaran akan minat dan kemampuan
untuk memilih jalur karir yang tepat yang dapat dilakukan melalui tes-tes bakat
yang dikaitkan dengan kemungkinan jalur karir yang paling efektif.
7) Kompensasi
Menurut Hasibuan kompensasi adalah sesuatu yang diterima oleh pekerja
sebagai balas jasa atas kerja mereka (Malayu Hasibuan, 2002: 118). Sedangkan
Mangkunegara mengatakan bahwa kompensasi adalah sebagai sistem reward
atau imbalan merupakan keseluruhan paket keuntungan sehingga organisasi bisa
membuat sesuatu yang bermanfaat bagi anggotanya serta diikuti bagaimana
mekanisme dan prosedur imbalan didistribusikan.
Kompensasi terdiri atas tiga komponen yang masing-masing amat
bervariasi. Yang pertama merupakan unsur-unsur yang paling besar. Pertama,
kompensasi dasar/tetap yang diterima karyawan secara teratur, baik dalam bentuk
gaji atau upah. Kedua, insentif yaitu program yang dirancang untuk
memberi imbalan kepada karyawan atas kinerjanya yang baik. Insentif ini ada
beberapa bentuk, seperti bonus, dan bagi untung. Ketiga, tunjangan atau
kompensasi tidak langsung. Tunjangan ini meliputi asuransi kesehatan, liburan,
transportasi, dan lain-lain (Anwar Prabu Mangkunegara, 2009: 83).
Dalam kompensasi ada tujuh kriteria keefektifannya, yaitu sebagai
berikut:
a) Memadai, tingkat minimal pemerintah, serikat kerja, dan
manajerial seharusnya dipenuhi.
b) Adil, setiap orang harus diberi imbalan secara adil
sesuai dengan usahanya dan kemampuannya.
c) Seimbang
d) Efektif-biaya, gaji tidak berlebihan sesuai dengan
kemampuan organisasinya untuk membayarnya.
e) Aman, gaji/upah seharusnya cukup untuk membantu
karyawan merasa aman dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
f) Menyediakan insentif untuk memotivasi kerja yang
efektif dan produktif.
g) Dapat diterima karyawan, karyawan seharusnya memahami
sistem imbalan dan merasa bahwa sistem ini masuk akal bagi perusahaan atau bagi
dirinya.
4.
Kaitan Manajemen Sumber
Daya Manusia dengan Mutu Pendidikan Pondok Pesantren
Permasalahan mutu di dalam lembaga pendidikan Islam
(termasuk Pondok Pesantren) merupakan permasalahan yang paling serius dan
paling kompleks. Rata-rata, lembaga pendidikan Islam belum ada yang berhasil
merealisasikan mutu pendidikannya (Mujamil Qomar, 2007: 204). Padahal mutu
pendidikan itu menjadi cita-cita bersama seluruh pemikir dan praktisi
pendidikan Islam, bahkan telah diupayakan melalui berbagai cara, metode,
pendekatan, strategi, dan kebijakan. Ada apa sebenarnya dengan mutu pendidikan
sehingga banyak menghabiskan energy tetapi hasilnya belum riil dan
proporsional?
Menurut laporan Bank Dunia (1999) bahwa salah satu
penyebab makin menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah
kurang profesionalnya para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat
lapangan (Mulyasa, 2003: 42). Sinyalemen ini meskipun masih perlu dibuktikan,
agaknya memang benar karena kepala sekolah sebagai pengendali, adalah figur
yang bertanggung jawab untuk menggerakkan kesadaran semua pihak, strategi
pembelajaran, pengkondisian lingkungan belajar dan sebagainya.
Secara umum pesantren masih menghadapi kendala serius
menyangkut keterkaitan sumber daya manusia professional dan penerapan manajemen
yang umumnya masih konvensional, misalnya tiadanya pemisahan yang jelas antara
yayasan, pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi, tidak adanya
transparansi pengelolaan sumber-sumber keuangan, belum terdistribusinya peran
pengelolaan pendidikan, dan banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak
sesuai dengan standar, serta unit-unit kerja tidak berjalan sesuai aturan baku
organisasi. Kyai masih merupakan figure sentral dan penentu kebijakan pendidikan
pesantren. Rekruitmen ustadz/guru, pengembangan akademik, reward system,
bobot kerja juga tidak berdasarkan aturan yang baku. Penyelenggaraan pendidikan
seringkali tanpa perencanaan. Keadaan ini jika ditilik dari sudut pandang
manajemen modern memang kurang baik. Namun, pernyataan ini harus dikatakan
secara hati-hati (Mastuki Hs. Dkk., 2003: 16).
Kultur pesantren tidak bisa dilihat dari secara hitam
putih dan dipertentangkan dengan kultur modern. Bagi sebagian pengasuh
pesantren barangkali ada beban psikologis untuk menerapkan begitu saja
manajemen modern. Hubungan personal yang begitu melekat di pesantren tidak bisa
diganti dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam manajemen modern.
Hubungan kyai-santri, atau kyai dan masyarakat selama ini terbangun dari
hubungan personal dan spiritual. Kerumitan dan permasalahan ini menyebabkan
antara normativitas dan kondisi obyektif pesantren ada kesenjangan, termasuk
dalam penerapan teori manajemen. Semata-mata berpegangan pada normativitas
dengan mengabaikan kondisi obyektif yang terjadi di pesantren adalah tindakan
kurang bijaksana, kalau tidak dikatakan gagal memahami pesantren. Akan tetapi,
membiarkan kondisi itu berjalan terus tanpa ada pembenahan juga tidak arif. Di
sini penerapan manajemen sumber daya manusia tidak bisa serta merta diterapkan
tanpa mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang riil di pesantren. Harus
ada toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara wajar tanpa mengundang
konflik.
0 comments:
Post a Comment