Pages

Subscribe:

Thursday, February 4, 2016

PROPOSAL TESIS "MANAGEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN NURUL HAROMAIN SENTOLO"





PROPOSAL PENELITIAN




MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA PONDOK
PESANTREN NURUL HAROMAIN SENTOLO
KULON PROGO YOGYAKARTA



 


















Rini Dwi Hastuti
NIM  : 2013081011





PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2016


PROPOSAL PENELITIAN


MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PADA PONDOK
PESANTREN NURUL HAROMAIN SENTOLO
KULON PROGO YOGYAKARTA



 


















Rini Dwi Hastuti
NIM  :  2013081011




Diajukan Kepada
Program Studi Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana
Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Untuk Mememuhi
Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister
Dalam Bidang Manajemen Pendidikan



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2016

HALAMAN PERSETUJUAN




Proposal Penelitian Berjudul “Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo Yogyakarta”



N a m a                                   :  Rini Dwi Hastuti
NIM                                        :  2013081011
Program Studi                       :  Manajemen Pendidikan
Program Pendidikan                        :  Pascasarjana


Telah diketahui dan disetujui sebagai persyaratan pengambilan data guna penelitian Tesis pada:
            Hari                : Jum’at
            Tanggal          : 29 Januari 2016





Pembimbing I                                    Pembimbing II




Dr. Mundilarno, M.Pd.                    Prof. Dr. Mulyoto, M.Pd.



Mengetahui :
Wakil Direktur




Dr. Sunarto, M.Si




DAFTAR ISI

BAB I.PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A.    LATAR BELAKANG MASALAH........................................................ 1
B.     FOKUS PENELITIAN............................................................................ 7
C.     RUMUSAN MASALAH ........................................................................ 8
D.    TUJUAN PENELITIAN.......................................................................... 8
E.     MANFAAT PENELITIAN ..................................................................... 8
BAB II. KAJIAN TEORI.................................................................................... 9
A.  DESKRIPSI TEORI................................................................................... 9
1.    Pesantren  ............................................................................................. 9
a.       Pengertian dan Tujuan Pondok Pesantren................................ 9
b.      Sejarah dan Peran Pondok Pesantren dari Masa ke Masa........ 14
c.       Karakteristik dan Tipologi Pesantren........................................ 22
d.      Kepemimpinan Pesantren......................................................... 30
e.       Komponen Pesantren ............................................................... 40
f.       Sistematika Pendidikan Pesantren ........................................... 45
1)      Kurikulum Pesantren.......................................................... 45
a)      Pondok Pesantren Salafiyah......................................... 49
b)      Pondok Pesantren Khalafiyah...................................... 50
2)      Manhaj dan Metode Pembelajaran .................................... 51
a)      Metode Sorogan .......................................................... 52
b)      Metode Bandongan(Wetonan)..................................... 52
c)      Metode Hafalan (tahfozh)............................................ 53
d)     Metode Diskusi............................................................. 54
e)      Sistem Majelis Taklim .................................................. 55
f)       Metode Penulisan Karya Ilmiah................................... 56
2.    Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren ............................................... 57
a.       Pengertian Mutu pendidikan di Pondok Pesantren ................. 47
b.      Aspek-aspek Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren.............. 61
c.       Faktor-faktor Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren ............ 62
1)      Kecerdasan......................................................................... 64
2)      Cinta Ilmu .......................................................................... 64
3)      Kesabaran........................................................................... 65
4)      Petunjuk Guru .................................................................... 66
5)      Bekal Biaya ........................................................................ 67
6)      Masa yang Lama ................................................................ 67
3.    Manajemen Sumber Daya Manusia...................................................... 68
a.       Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia  ...................... 68
b.      Komponen Manajemen Sumber Daya Manusia  ...................... 71
c.       Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia  ................. 72
1)      Perencanaan ................................................................. 74
2)      Rekrutmen dan Seleksi................................................. 77
3)      Orientasi dan Penempatan............................................ 83
4)      Pelatihan dan Pengembangan ...................................... 85
5)      Penilaian Kerja.............................................................. 88
6)      Pengembangan karir...................................................... 94
7)      Kompensasi................................................................... 95
4.    Kaitan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan Mutu Pendidikan Pondok Pesantren            97
B.  PENELITIAN YANG RELEVAN  ........................................................ 100
C.  PARADIGMA PENELITIAN ................................................................ 102
D.  PERTANYAAN PENELITIAN ............................................................. 105
BAB III. METODE PENELITIAN................................................................... 106
A.    TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN.............................................. 106
B.     BENTUK DAN  STRATEGI PENELITIAN....................................... 106
C.     SUMBER DATA................................................................................... 107
D.    TEKNIK PENGUMPULAN DATA..................................................... 108
E.     KEABSAHAN DATA........................................................................... 113
F.      TEKNIK ANALISIS DATA................................................................. 116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN INSTRUMEN PENELITIAN







BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
       Kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan pada hampir semua aspek kehidupan manusia, di mana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan tersebut dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan membawanya ke dalam era persaingan global yang semakin kuat ( Zaenal, 2008:1).
       Era global dicirikan dengan persaingan bebas yang berlatar belakang pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi informasi. Hal ini merupakan harapan sekaligus ancaman bagi seluruh bangsa yang tidak siap menghadapinya. Agar mampu berperan dalam persaingan global ini, maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah kemampuan berkompetisi dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga sumber daya manusia yang berkualitas dapat ditandai dengan sifat inovatif-kreatif serta menguasai ilmu pengetahuan dan informasi (Dadan, 1999: 106)
      1
                   Kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan di dalam era globalisasi tentunya tidak akan lahir dengan sekejap tetapi merupakan proses, diperlukan suatu program pendidikan untuk mempersiapkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang sesuai dengan transformasi sosial yang sangat cepat. Dengan artian bahwa sumber daya manusia yang berkualitas itu memerlukan manajemen agar terarah sesuai dengan tujuannya (Ngadino, 2005:3).
       Pendidikan memiliki peran yang sangat urgen dalam menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa, selain itu pendidikan juga menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa serta menjadi cermin kemajuan dalam masyarakat (Hasbullah, 1996: 27). Dengan demikian pendidikan menempati posisi kunci bagi kemajuan suatu bangsa. Semakin baik kualitas pendidikan, maka semakin baik kualitas bangsa itu sendiri, ini pula yang diinginkan bagi pendidikan di Indonesia sebagai negara berkembang. Untuk itu pendidikan harus dirangcang sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana yang penuh kebangsaan, kebersamaan dan tanggung jawab (Zamroni, 2006:90).
                   Upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan seakan tidak pernah berhenti. Banyak agenda reformasi yang telah, sedang dan akan dilaksanakan. Beragam program inovatif ikut serta memeriahkan reformasi pendidikan. Reformasi pendidikan adalah restrukturisasi pendidikan, yakni memperbaiki pola hubungan sekolah dengan lingkungannya dan dengan pemerintah, pola pengembangan perencanaannya serta pola pengembangan manajerialnya, pemberdayaan guru dan restrukturisasi model-model pembelajaran ( Abdul Majid, 2006 : 3)
       Laporan Human Development Index (HDI) yang diliris UNESCO pada 2013, Indonesia masuk dalam kategori "medium human development". Indonesia bertengger di peringkat ke-108 dari total 187 negara, berada tepat di bawah Palestina. Namun, jika melirik negara tetangga, Malaysia sudah mampu masuk kategori "high human development" di posisi ke-62, sederet bersama Sri Lanka di peringkat ke-73, dan Thailand di peringkat ke-89. Sementara itu, Singapura sukses meraih peringkat ke-9 dan masuk kategori "very high human development" bersama Hongkong, Korea, dan Jepang. HDI merupakan salah satu patokan kualitas sumber daya manusia di negara-negara naungan PBB. Tiga indikator utama HDI mencakup penilaian kesehatan jangka panjang, akses terhadap pendidikan, dan standar kesejahteraan hidup. Ketiga aspek tersebut dinilai UNESCO sebagai faktor inti penentu kemajuan suatu bangsa( http://edukasi.kompas.com/read/2015/05/21).
       Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga  pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenou. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian(“nggon Ngaji”). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimim Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan ( M.Sulton dkk, 2004: 1)
       Sejarah telah mencatat, bila pesantren telah memainkan peranan yang sangat besar dalam ikut memajukan pendidikan di Indonesia. Selama ini, kelebihan pesantren adalah terletak pada keberadaannya yang multifungsional, yaitu: berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, lembaga kemasyarakatan, dan bahkan lembaga perjuangan. Dengan demikian, terdapat tiga potensi yang cukup mendasar dari pesantren, yaitu potensi pendidikan, potensi dakwah dan potensi kemasyarakatan.
       Perkembangan zaman yang semakin modern, dan tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, membuat pesantren harus terus berupaya membenahi jati dirinya, utamanya adalah pendidikan. Agar pendidikan yang diberikan pesantren tidak kalah majunya dengan lembaga pendidikan lainnya, maka salah satu usaha yang dapat dilakukan pesantren, yaitu membuka dan mengembangkan pendidikan formal ( baca: sekolah atau madrasah ) (Achmad Fauzi,2009:1)
       Pondok pesantren Nurul Haromain merupakan salah satu Pondok Pesantren di kawasan Kulon Progo yang ikut mewarnai Islam Ala Ahlissunah Wal Jama’ah di daerah Istemewa Yogyakarta ini didirikan oleh Bapak Kyai H.M Sirodjan Muniro AR yang sekaligus sebagai pengasuhnya. Tepatnya pada tanggal 11 Desember 1995 dengan sebidang tanah berukuran 16.000m², beliau adalah lulusan ta’lim di makkah Al Maliki Al Hasany. Tujuannya adalah membina kader – kader islam yang berwawasan Ahlissunah Wal Jama’ah tanpa meninggalkan nilai – nilai Islam Jawa, Ala Wali Songo yang selanjutnya akan menjadi Islam rohmatan – lil’alamin. Visi Pengemban dakwah penerus Rosulillah SAW dalam lii’lai kalimatillah dan mempertahankan Al Islam Ahlisunnah Wal Jama’ah. Misi membina santri – santri menjadi insani yang berkepribadian Islam, berpegang teguh pada Al – Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW dan berhaluan Salafiyah Ahlussunah Wal Jama’ah Ala Madzahibil Arba’ah. Pembinaan calon – calon pemimpin masyarakat (umat) yang bertanggung jawab dan mampu mengembangkan dakwah islam serta mempunyai kepekaan terhadap perubahan dan perbedaan social ekonomi masyarakat (umat). Pondok Pesantren berusaha memikirkan alumnusnya (yang mendapat ridho Kyai) sebagai wujud tanggung jawab Pondok Pesantren (Kyai) kepada anak didiknya (santrinya).
             PLANNING / PROGRAM PONDOK PESANTREN “ NURUL HAROMAIN “ Pesantren S3 ( Santri Siap Salurkan ) Wajib 10 Tahun dipesantren/Gratis Kota Santri Pesantren mahir 4 bahasa ( Arab, Inggris, Sunda, Madura ), SKU ( Sekolah Kejar Umum ), Rumah Sakit ( Medis/Alternatif/Gangguan Jiwa), Usaha Produktif jasa Transportasi Tenda dengan segala rangkaian Peternakan (Kambing / sapi) BMT Produk Muslim Pasar Seng ( pasar muslim ) Pasar Pondok Toko Supermarket dan Material Pesantren Lansia, Pesantren Tuna Netra, Pesantren anak Cacat, Pesantren Narkoba, Pesantren Da’Wah ( Tabligh ), Sekolah umum (MI/MTs/MA/SMK), Pesantren Pesantren Thoriqoh, Pesantren Lapanan, Pesantren Orang Hamil, Pesantren Jodoh, Pesanren Hijrah (Santri pindahan) yang siap berjuang  (http://el-nuha.blogspot.com/2013/09/pp-nuha.html)
       Dimana saja secara tradisi, sebuah institusi pendidikan Islam dapat disebut “pesantren” kalau ia memiliki elemen-elemen utama yang lazim dikenal di dunia pesantren. Sebagaimana Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren (1982:44) 
       Budaya (culture, colere, kultur, tsaqofah, peradaban, dan civilization) diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berfikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan, merupakan hasil interaksi sesama manusia dan lingkungan alam, akan tetapi dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkan ( Said Hamid H dkk, 2010 :3). Seorang filusuf Jerman Immanuel Kant, mengatakan bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan merupakan semacam sekolah dimana manusia dapat belajar (Faisal Ismail, 1997: 23). Budaya sebagai kekayaan bangsa Indonesia, juga dapat berfungsi sebagai penyaring (filter) karakter, bahkan sebagaimana definisi Immanuel Kant di atas maka budaya juga dapat dijadikan sebagai strategi pendidikan karakter. Budaya sebagai sebuah produk bersama komunitas sosial, sangatlah efektif dan efisien jika dilaksanakan secara rutin dan berkelanjutan (continue) untuk membangun kesadaran diri dalam menginternalisasikan karakter yang ditanamkan. Salah satu lembaga pendidikan yang banyak mengedepankan budaya adalah pondok pesantren yang sering disebut sebagai “budaya pesantren” ( Husna Nasihin, 2014:4-5). Budaya pesantren yang dilaksanakan secara berkesinambungan akan mampu menurunkan tingkat kriminalitas di tengah perkembangan masyarakat yang cenderung liberal saat ini. Pesantren terbukti mampu mempertahankan eksistensinya bahkan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat ( In’am Sulaiman, 2010:ix).
      
       Atas dasar alasan-alasan di atas, maka manajemen sumber daya manusia dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sangatlah penting untuk diteliti.
B.  Focus Penelitian
          Sesuai dengan latar belakang masalah, penelitian ini akan membicarakan manajemen sumber daya manusia, khususnya adalah pendidik / ustadz / guru/ pembimbing/ murobbi/ pengurus  yang ada pada semua proses kegiatan di Pondok Pesantren Nurul Haromain sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan. 
C.  Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.            Bagaimana manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
2.            Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
3.            Bagaimana usaha mengatasi kendala  manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo ?
D.  Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1.            Untuk mengetahui manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo.
2.            Untuk mengetahui faktor apa saja yang mendukung dan menghambat manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo.
3.            Untuk mengetahui usaha mengatasi kendala manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada Pondok Pesantren Nurul Haromain Sentolo Kulon Progo
E.   Manfaat Penelitian
1.        Secara teoritis, kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pendidikan dan informasi kepada peneliti-peneliti lain sehingga kajian ini dapat memberikan informasi kepada peneliti lain untuk meneruskan penelitian yang berhubungan dengan manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Persantren.
2.        Secara praktis, pada tingkat satuan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Nurul Haromain, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang terkait pada manajemen sumber daya manusia (pendidik) dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan agar mutu pendidikan yang diharapkan dapat sesuai tujuan  dalam menghadapi era pasar bebas ASEAN pada akhir tahun 2015 di Kabupaten Kulon Progo.




 
Bab II
Kajian Teori

A.    Deskripsi Teori
1.      Pesantren
a.       Pengertian dan Tujuan Pondok Pesantren
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia yang dikembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah produk budaya masyarakat indonesia yang menyadari akan arti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut menggagas pondok pesantren sebagai pusat peradaban muslim yang diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas) dan telah sekian lama mengakar serta hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Ada beberapa pendapat mengenai asal mula kata “pesantren”, diantaranya:
1)     
  9
 
Prof. John berpendapat, bahwa kata pesantren berasal dari term“santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”.
2)      C.C. Berg berpendapat, bahwa kata santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti “orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”.
3)      Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasaTamil “sattiri” yang berarti “orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan secara umum”.
4)      Pendapat lain mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sanskerta “cantrik” yang berarti “orang yang selalu mengikuti guru”.
5)      Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa santri pada awalnya merupakan gabungan dari kata “saint” (manusia baik) dan “tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik baik.
Dalam hubungan ini, kata Jawa “pesantren” yang diturunkan dari kata “santri” dengan awalan dan akhiran “pe-an”, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa (santri) sebagai model pendidikan agama di Jawa.
Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat. Definisi pesantren menurut beberapa sumber antara lain:
1)      Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji.
2)      Prasojo, dkk., menyatakan bahwa pesantren salah satu bentuk lembaga pendidikan keagamaan di daerah pedesaan yang belum banyak diketahui (Sudjoko Prasodjo, 1974 : 1).
3)      Dhofier menyatakan bahwa pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 18).
4)      Mukti Ali berpendapat bahwa pondok adalah pondok, bukan sekolah, bukan pula madrasah. Ia memiliki karakteristik yang unik dalam menjalankan cara hidup, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hierarki kepemimpinan tersendiri yang ditaati sepenuhnya oleh penghuninya (Mulyanto Sumardi, 1978:39).
5)      Abdurrahman Wahid menggambarkan pesantren sebagai sebuah kehidupan yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya, yakni sebuah kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam kompleks pesantren itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah pengasuh, surau atau masjid, tempat pengajaran, dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren. Tidak ada suatu pola tertentu yang diikuti dalam pembangunan fisik sebuah pesantren, sehingga penambahan-penambahan bangunan pesantren dapat dikatakan mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka. Dalam lingkungan bangunan fisik yang demikian, diciptakan semacam kehidupan yang memiliki sifat dan karakteristik tersendiri (Abdurrahman Wahid, 1999: 10-12).

Dari berbagai pengertian pesantren tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki elemen-elemen dasar, yakni: kyai, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, masjid dan pondok/asrama. Ia merupakan lembaga pendidikan swasta milik kyai, tempat seleksi calon-calon ulama. Elemen-elemen tersebut dapat bertambah sesuai dengan perkembangan pesantren (Abd. Rachman Shaleh dkk., 1982: 66).
Pada mulanya tujuan utama Pondok Pesantren adalah menyiapkan santri dalam mempelajari dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh fiddin yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia. Santri-santri lulusan Pondok Pesantren memiliki tugas berdakwah menyebarkan agama Islam dan membentengi umat dalam bidang akhlak. Seiring perkembangan zaman dan tuntutannya, tujuan Pondok Pesantren pun bertambah karena perannya yang signifikan di masyarakat, yaitu berupaya meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan.
Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan sekedar muslim.
 Sedangkan menurut M.Arifin bahwa tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:

1)      Tujuan Khusus
Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
2)      Tujuan Umum
Yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar dan melalui ilmu dan amalnya.
Dari beberapa tujuan didirikannya Pondok Pesantren di atas mengantarkan Pondok Pesantren sebagai salah satu institusi non-pemerintah yang mampu memainkan berbagai macam peranan dalam proses pembangunan di berbagai sektor kehidupan terutama di daerah. Keberadaan pondok pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumber daya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah. Terlebih lagi proses transformasi sosial di era otonomi mensyaratkan daerah lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan (Ginandjar Kartasasmita dalam Matuki HS dkk., 2003: 13-14).
b.      Sejarah dan Peran Pondok Pesantren dari Masa ke masa
Pondok pesantren, menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pondok pesantren mempunyai kaitan erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya lebih banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai dengan terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat itu disebut kyai, yang mewajibkan pengikutnya melaksanakan suluk selama 40 hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama sesama anggota tarekat dalam sebuah masjid untuk melakukan ibadah-ibadah di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini para kyai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat memasak yang terdapat di kiri kanan masjid. Di samping mengajarkan amalan tarekat para pengikut itu juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pondok Pesantren. (Depag, 2003: 10)
Dawam Rahardjo menyatakan perlu adanya tinjauan dan penelitian sejarah tentang pesantren. Lebih lanjut dikatakan, ada tanda-tanda bahwa model pesantren itu berakar pada sejarah nabi sendiri. Sebelum Nabi Muhammad SAW. Menyiarkan Islam secara terang-terangan kepada masyarakat luas setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad telah membentuk kelompok pengajian, mula-mula bertempat di bukit luar kota Makkah, selanjutnya berpindah ke rumah Al-Arqam bin Abu Arqam selama kurun waktu 4 tahun dan diikuti oleh 40 pemuda. Pemuda-pemuda inilah yang tumbuh dan berkembang menjadi pemimpin yang mempengaruhi peradaban besar di wilayah Arab dan Afrika Utara. (Dawam Rahardjo, 1974:32-33)
Pendapat kedua, menyatakan bahwa Pondok Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambilalihan dari sistem yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia, lembaga Pondok Pesantren sudah ada di negeri ini. Pada masa itu, pendirian Pondok Pesantren dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu. Fakta lain menunjukkan tidak ditemukannya lembaga Pondok Pesantren di negara-negara Islam lainnya (Depag, 2003: 11).
Amir Hamzah, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrink menyatakan, secara terminologi dapat dijelaskan bahwa budaya pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistem pendidikannya, berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah terlebih dahulu digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diadopsi oleh para ulama penyebar Islam. Istilah-istilah yang ada di pesantren pun,seperti mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dari India (Karel A. Steenbrink, 1994:20-21).
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal mula pesantren, yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang masih tetap konsisten sampai sekarang di dalam memelihara nilai-nilai, budaya atau tradisi, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diakui sejak awal sangat independen atau mandiri. Dalam hal ini, Malik Fadjar dalam Amin Haedari pernah membanggakan kemandirian pesantren ini dengan mengatakan; “Ditinjau dari sisi kemandirian, pesantren jelas lebih unggul dibandingkan lembaga perguruan tinggi yang meski terkesan “wah” tetapi justru merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya paling bertanggung jawab  terhadap membludaknya angka pengangguran di masyarakat.”
Pondok Pesantren di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad ke-16. Karya-karya Jawa Klasik seperti Serat Cabolek  dan Serat Centini mengungkapkan bahwa sejak permulaan abad ke-16 di Indonesia telah banyak dijumpai lembaga-lembaga yang mengajarkan berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fiqih, akidah, tasawuf, dan menjadi pusat-pusat penyiaran Islam yaitu Pondok Pesantren (Depag RI, 2003: 11). Walaupun sulit diketahui kapan permulaan munculnya, namun banyak dugaan yang mengatakan bahwa lembaga Pondok Pesantren mulai berkembang tidak lama setelah masyarakat Islam terbentuk di Indonesia.
Pada dasarnya, Pondok Pesantren lahir sebagai perwujudan dari dua keinginan yang bertemu. Keinginan orang yang ingin menimba ilmu sebagai bekal hidup (yaitu santri) dan keinginan orang yang secara ikhlas mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada umat (yaitu kyai). Sehingga Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga yang memadukan dua keinginan tersebut. Adapun tempatnya dapat berupa langgar, mushalla atau masjid, yang berkembang berdasarkan bertambahnya santri yang menuntut ilmu. Di tempat ini pula kemudian aktivitas santri diselenggarakan.
Dalam perkembangannya  Pondok-pondok Pesantren yang menyebar ke seluruh Indonesia memiliki kekhasan tersendiri, tergantung keahlian dasar sang kyai atau guru. Hal yang tetap sama adalah isi pengajarannya yang diberikan melalui pengajaran kitab-kitab kuning. Namun persoalan-persoalan masyarakat di bidang sosial, ekonomi dan bahkan politik ikut menjadi perhatian para santri. Maka tidaklah mengherankan jika di masa sekarang peranan pondok pesantren merambah ke arah pemberdayaan ekonomi, karena memang pada dasarnya telah melembaga sejak dahulu.
Selanjutnya pertumbuhan Pondok Pesantren di seluruh Indonesia berlangsung dengan cepat. Ini dimungkinkan tersebar karena para santri dianggap telah mampu menguasai ilmu yang telah diberikan kyai kemudian kembali ke daerah masing-masing dan mendirikan Pondok Pesantrennya sendiri dengan pengembangan sesuai dengan keahlian masing-masing. Bahkan pada tahun-tahun perjuangan kemerdekaan, peran Pondok Pesantren cukup besar. Mobilisasi umat dilakukan para kyai untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Salah satu bukti peran penting Pondok Pesantren dan jasa besar para kyai dalam memobilisasi umat untuk melawan penjajah adalah adanya “Resolusi Jihad” yang dikumandangkan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, yang mengobarkan semangat “arek-arek Surabaya” mengusir penjajah yang tidak mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia. Semangat para santri ikut berperang dalam pertempuran besar 10 November 1945 pada akhirnya mengantarkan penghargaan dan apresiasi bagi kaum santri dengan dicanangkannya “Hari Santri” oleh Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015.
Pada masa penjajahan inilah Pondok Pesantren mengalami tekanan yang amat berat. Pondok Pesantren memberikan pengajaran tentang cinta tanah air dan menanamkan sikap patriotik pada para santrinya. Lembaga ini mengutamakan pembinaan mental dan spiritual para santrinya. Hal ini menjadi suatu kekhawatiran bagi penjajah, sehingga mendorong pemerintah Hindia Belanda menawarkan bentuk pendidikan yang modern dalam performa sekolah (Depag RI, 2003: 13-14).
Pada akhir abad ke-19, lembaga pesantren semakin berkembang secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama atau kyai terhadap kebijakan “politik Etis” pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan pemerintah kolonial ini dimaksudkan sebagai balas jasa kepada rakyat Indonesia dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya Barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, baik dari segi jumlah yang mendapat kesempatan mengikuti pendidikan maupun dari segi tingkat pendidikan yang diberikan. Brugmans dalam Mastuki HS dkk. (2003: 1-2) mencatat antara tahun 1900-1928 anak-anak usia 6-8 tahun yang bersekolah hanya mencapai 1,3 juta jiwa. Padahal jumlah penduduk di Pulau Jawa saja hingga tahun 1930 mencapai 41,7 juta jiwa. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia masih buta huruf.
Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah kolonial serta memberikan kesempatan kepada rakyat yang belum memperoleh pendidikan. Sampai akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1860-an menurut penelitian Sartono Kartodirdjo jumlah pesantren mengalami peledakan yang luar biasa, terutama di Jawa yang diperkirakan mencapai 300 buah. Perkembangan pesantren yang begitu pesat juga ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekah. Sepulangnya ke kampung halaman, para pelajar yang mendapat gelar “haji” ini mengembangkan pendidikan agama di tanah air yang bentuk kelembagaannya kemudian disebut “pesantren” atau “pondok pesantren”.
Pada paruh kedua abad ke-20 ada dorongan arus besar dari pendidikan ala Barat yang dikembangkan pemerintah Belanda dengan mengenalkan sistem sekolah. Di kalangan pemimpin-pemimpin Islam, kenyataan ini direspon secara positif dengan memperkenalkan sistem pendidikan berkelas dan berjenjang dengan nama “madrasah” (yang dalam beberapa hal berbeda dengan sistem “sekolah”).
Baru memasuki era 1970-an pesantren mengalami perubahan signifikan. Perubahan dan perkembangan itu bisa ditilik dari dua sudut pandang. Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas luar biasa, baik di wilayah rural (pedesaan), sub-urban (pinggiran kota), maupun urban (perkotaan). Data Departemen Agama menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren masih sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Data terakhir tahun 2001 menunjukkan jumlah pesantren seluruh Indonesia sudah mencapai 11.312 buah dengan santri sebanyak 2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi pesantren salafiyah, tradisional sampai modern. Selain menunjukkan tingkat keragaman dan orientasi pimpinan pesantren dan independensi kyai, jumlah ini memperkuat argumentasi bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri dan sejatinya merupakan praktik pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Hampir 100% pendidikan yang berada atau dilaksanakan di pesantren adalah milik masyarakat dan berstatus swasta. Keberadaan pesantren yang menyebar dan meluas di pedesaan (sekitar 8.829 atau 78,05%) bisa dijadikan sebagai basis gerakan pemberantasan buta huruf, akselerasi program wajib belajar dan bisa meningkatkan HDI (Human Development Indext) Indonesia di mata dunia (Mastuki HS dkk., 2003: 4-5). Perkembangan kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi.
c.       Karakteristik dan Tipologi Pesantren
Abdurrahman Wahid menempatkan pesantren sebagai subkultur tersendiri dalam masyarakat Indonesia. Menurutnya, keberadaan lima ribu buah pondok pesantren yang tersebar di enam puluh delapan ribu desa merupakan bukti tersendiri untuk menyatakan sebuah subkultur  (Mastuki HS dkk., 2003: 10). Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam memiliki cirri-ciri tertentu. Cirri-ciri umum pondok pesantren adalah (1) kyai, sebagai pimpinan pondok pesantren, (2) para santri yang bermukim di asrama dan belajar pada kyai, (3) asrama, sebagai tempat tinggal para santri, (4) kajian kiatb kuning sebagai bentuk pengajaran kyai terhadap para santri, (5) masjid atau mushalla sebagai pusat pendidikan dan pusat kompleksitas kegiatan.
Beberapa uraian yang menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuk murni (tradisional)  menyebutkan ciri-ciri pesantren dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1)      Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyainya. Kyai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini dimungkinkan karena mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu baik di saat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan sebagian santri diminta menjadi asisten kyai (khadam).
2)      Kepatuhan santri kepada kyai. Para santri menganggap bahwa menentang kyai selain tidak sopan juga dilarang agama, bahkan tidak memperoleh berkah ilmu karena durhaka kepada guru.
3)      Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak didapatkan di sana. Bahkan beberapa santri yang hidupnya terlalu sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan pemenuhan gizi.
4)      Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasak sendiri.
5)      Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwwah islamiyah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, seperti shalat berjama’ah, membersihkan masjid dan ruang belajar bersama.
6)      Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan ini pesantren biasanya memberikan sanksi-sanksi edukatif (ta’zir).
7)      Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan I’tikaf, shalat tahajud, dan bentuk-bentuk riyadloh lainnya atau meneladani kyainya yang menonjolkan sikap zuhud.
8)      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kyai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh.
Sa’id Aqiel Siradj (1999: 215-216) menyatakan bahwa eksistensi pondok pesantren yang sedemikian lama dimungkinkan pula karena sikap kepercayaan diri yang tinggi dan penuh pertahanan diri. Dalam rangkaian ini pula terlahir jiwa Pondok Pesantren yang merupakan karakteristik yang belum pernah dibangun oleh sistem pendidikan manapun. Jiwa Pondok Pesantren itu terimplikasi dalam panca-jiwa Pondok Pesantren sebagai berikut:
1)      Jiwa Keikhlasan
Jiwa keikhlasan yang tidak didorong oleh ambisi apapun untuk memperoleh keuntungan-keuntungan tertentu, tetapi semata-mata demi ibadah kepada Allah. Jiwa keikhlasan termanifestasi dalam segala rangkaian sikap dan tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas Pondok Pesantren, jiwa ini terbentuk oleh adanya suatu keyakinan bahwa perbuatan baik mesti dibalas oleh Allah dengan balasan yang baik pula, bahkan mungkin sangat lebih baik.
2)      Jiwa Kesederhanaan
Sederhana bukan berarti pasif, melarat, nrimo, dan miskin, tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi segala kesulitan. Di balik kesederhanaan itu terkandung jiwa yang besar, berani, maju terus dalam menghadapi perkembangan dinamika sosial. Kesederhanaan ini menjadi identitas santri yang paling khas di mana-mana.
3)      Jiwa Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah islamiyah yang demokratis ini tergambar dalam situasi dialogis dan akrab antar komunitas Pondok Pesantren yang dipraktikkan sehari-hari. Keadaan ini akan mewujudkan suasana damai, senasib sepenanggungan, yang sangat membantu dalam pembentukan dan pembangunan idealisme santri. Perbedaan yang dibawa oleh santri ketika masuk pondok pesantren tidak menjadi penghalang dalam jalinan yang dilandasi oleh spiritualitas Islam yang tinggi.
4)      Jiwa Kemandirian
Kemandirian di sini bukanlah kemampuan dalam mengurus persoalan-persoalan intern, tetapi kesanggupan membentuk kondisi pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam yang merdeka dan tidak menggantungkan diri pada bantuan dan pamrih pihak lain. Pondok pesantren harus mampu berdiri di atas kekuatannya sendiri.
5)      Jiwa Bebas
Bebas dalam memilih alternatif jalan hidup dan menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis menghadapi segala problematika hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Kebebasan di sini juga berarti tidak terpengaruh atau tidak mau didikte oleh dunia luar.
Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Dengan adanya tranformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
1)          Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
2)          Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
3)          Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.
4)          Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat, bentuk, hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman.
Menurut Yacub ada beberapa pembagian tipologi pondok pesantren yaitu :
1)    Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan weton.
2)      Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi)   memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan.
3)      Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
4)      Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1)        Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daerah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain.
2)        Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3)        Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Contohnya adalah Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur.
4)        Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan di luar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.
Menyadari bahwa Pondok Pesantren telah mengalami perkembangan bentuk dari keadaan semula, pada tahun 1979, Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 tahun 1979 yang menyatakan bentuk Pondok Pesantren adalah sebagai berikut:
1)        Pondok Pesantren Tipe A, yaitu Pondok Pesantren di mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan Pondok Pesantren dengan pengajarannya yang berlangsung secara tradisional (wetonan atau sorogan).
2)        Pondok Pesantren Tipe B, yaitu Pondok Pesantren yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy) dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikatif dan diberikan pada waktu-waktu tertentu. Para santri tinggal di asrama lingkungan Pondok Pesantren.
3)        Pondok Pesantren Tipe C, yaitu Pondok Pesantren yang hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai hanya merupakan pengawas dan Pembina mental para santri.
4)        Pondok Pesantren Tipe D, yaitu Pondok Pesantren yang menyelenggarakan sistem Pondok Pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.
d.      Kepemimpinan Pesantren
Kata “Kepemimpinan” secara etimologi berasal dari kata dasar “pimpin”. Dengan membubuhi imbuhan me- pada kata pimpin, menjadi kata “memimpin”, yang berarti orang yang memimpin. Kata “memimpin”, semakna dengan mengetuai atau mengepalai; memandu; melatih (mendidik, mengajari) supaya dapat mengerjakan sendiri. Kata “pemimpin” berarti orang yang memimpin. Dengan membubuhi konfiks ke-an pada kata pemimpin, menjadi kata “kepemimpinan” mempunyai arti perihal pemimpin; cara memimpin.
Duke (1986: 10) melihat kepemimpinan sebagai fenomena gestalt, yakni keseluruhan lebih besar daripada bagian-bagiannya. Menurut Dubin (1968: 385) kepemimpinan terkait dengan penggunaan wewenang dan pembuatan keputusan. Sementara Fiedler (1967: 8) lebih melihat pemimpin sebagai individu dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait dengan tugas. Memperkuat pandangan ini, Stogdill (1950: 4) menjelaskan kepemimpinan sebagai kemampuan proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan tujuan organisasi dan pelaksanaan sasaran. Akhirnya Pondy (1978: 94) mendeskripsikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menjadikan suatu aktifitas bermakna tidak untuk merubah perilaku namun memberi pemahaman kepada pihak lain tentang apa yang mereka lakukan.
Istilah kepemimpinan menurut Yuki, proses untuk mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tersebut mencakup upaya yang bukan hanya untuk mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan organisasi yang sekarang, namun dapat juga digunakan untuk memastikan  bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi tantangan di masa depan.
Sutisna merumuskan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Sementara itu, Soepardi mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampunan menggerakan, mempengaruhi, memotifasi, mengajak, mengarahkan, menasihati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum jika diperlukan, serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka pencapaian tujuan administrasi secara efektif dan efisien (Fuad Asnawi, 2008: 74-76).
Kepemimpinan dalam sebuah pesantren pada umumnya bersifat alami, baik dalam pengembangan pesantren ataupun dalam proses pembinaan seorang calon pemimpin yang teratur dan menetap. Pembinaan dan pengembangan pola kepemimpinan dalam pesantren tersebut menjadikan menghasilkan kontinuitas ‘persambungan’, pergantian estafet kepemimpinan yang positif, namun seringkali terjadi penurunan kualitas kepemimpinan pesantren jika pemimpin generasi berikutnya tidak sebanding dengan kualitas pemimpin yang digantikannya.
Pada umunya, sebuah pesantren didirikan oleh seorang kyai yang memiliki cita-cita tinggi dan upaya yang keras untuk merealisasikan cita-citanya. Proses tersebut akan menampilkan seorang kyai pemimpin pesantren yang tertempa oleh pengalaman yang menjadikan keunggulan pribadinya mengalahkan kualitas pribadi-pribadi di sekitarnya. Sifat mutlak dan pribadi dari kepemimpinan seperti inilah yang dinamai karisma. Pemimpin karismatik dengan akhlak terpuji dan kemampuan yang dimilikinya dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah laku orang yang dipimpinnya sehingga dalam suasana batin yang dipimpinnya bersedia berbuat sessuai dengan yang dikehendaki pemimpinnya. Dengan kepribadian itu pemimpin dapat diterima dan dipercaya sebagai orang yang dihormati, disegani, dan dipatuhi dengan suka rela (Fuad Asnawi, 2008: 83).
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren diurus oleh satu atau dua kyai yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan (Azyumardi Azra, 199: 104). Pesantren menekankan sikap konservatif yang bersandar dan berpusat pada figure kyai (A. Malik Fadjar, 2005: 219). Karena itu Sindu Galba menyimpulkan bahwa, “Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren” (Sindu Galba, 1995: 62). Kyai dalam pesantren merupakan figure sentral otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Kyai adalah pemimpin tunggal yang memegang wewenang hampir mutlak. Kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren.
Abdurrahman Mas’ud mengatakan bahwa para santri menerima kepemimpinan kyai karena begitu percaya pada konsep dalam masyarakat Jawa, yaitu berkah atau barakah yang didasarkan atas doktrin status keistimewaan seorang alim atau wali. Mereka meyakini bahwa orang alim maupun wali memiliki kemampuan istimewa yang tidak dimiliki semua orang pada umumnya sehingga menerima kepemimpinan mereka sebagai satu keniscayaan. Di dalam pesantren, penerimaan santri pada kepemimpinan kyai lebih niscaya lagi. Hal ini disebabkan oleh baik pertimbangan struktural, teologis, maupun kultural. Secara struktural, posisi kyai di pesantren bagaikan raja dalam kerajaan. Jadi kyai memiliki posisi tertinggi yang tidak mungkin ditandingi orang lain. Secara teologis, kyai diyakini dapat membantu atau memberikan kenikmatan, tetapi juga bisa mengakibatkan bahaya. Secara kultural kyai sebagai orang tua baik karena faktor usia ataupun dituakan karena kedalaman ilmunya sehingga harus dihormati dan dijadikan panutan/pemimpin (Mujamil Qomar, 2007: 65)
Kepemimpinan kyai seperti tergambar di atas memunculkan kenyataan bahwa kyai adalah pemimpin yang karismatik. Imej yang justru cenderung memperkokoh bangunan otoritas tunggal yang secara frontal bertentangan dengan alam keterbukaan. Sosok kepemimpinan inilah yang menimbulkan kesan pada Martin van Bruinessen bahwa demokrasi masih jauh dari pesantren (Martin van Bruinessen, 1994: 78). Meskipun demikian, Syaefuddin Zahri justru menilai dengan cara yang berbeda. Menurutnya alam pesantren terkenal bebas dan demokratis. Sepanjang menyangkut proses pembelajaran pesantren memang melibatkan partisipasi orang lain, hampir tanpa batas seperti tidak ada seleksi, tidak ada absen, tidak ada batas usia, dan tidak ada klasifikasi secara intelektual sehingga benar-benar demokratis. Namun jika menyangkut kepemimpinan, kyai menjelmakan dirinya sebagai pemimpin individual yang memegang wewenang hampir mutlak akibat pesona karismatik itu (Mujamil Qomar, 2007: 67).
Sebagaimana ditegaskan Abdurrahman Wahid yang menyatakan bahwa watak kepemimpinan karismatik kyai pesantren itu yang menyebabkan selama ini pola kepemimpinan belum menetap di pesantren. Di samping itu masih ada empat kerugian dari kepemimpin karismatik tersebut. Pertama, ketidakpastian dalam perkembangan pesantren, karena semua hal tergantung kepada keputusan pribadi kyai. Kedua, keadaan yang kurang mendukung tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon pengganti yang keatif) untuk mencoba pola-pola pengembangan yang belum diterima oleh figur kepemimpinan yang ada. Ketiga, pola pergantian kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan tidak direncanakan sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami seperti meninggalnya pemimpin secara mendadak. Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di pesantren, antara tingkat local, regional, dan nasional. Tergantikannya seorang pemimpin pesantren yang memiliki pengaruh tingkat nasional dengan pemimpin yang baru, seringkali tidak dapat mengimbangi pengaruh itu dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup menjembatani perbedaan pendapat antar pemimpin pesantren (Abdurrahman Wahid, 1993: 167-169).
Kerugian kepemimpinan karismatik ini akhirnya mengakibatkan rangkaian kerugian lainnya karena sikap dan penampilan kyai yang membentuk mata rantai kelemahan yang oleh Nurcholish Madjid dipaparkan sebagai berikut:
1)      Karisma
Pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratis, sebab tidak rasional. Apalagi jika disertai tindakan-tindakan yang bertujuan memelihara karisma itu, seperti menjaga jarak dengan para santri. Pola kepemimpinan seperti ini akan kehilangan kualitas demokratisnya.
2)      Personal
Karena kepemimpinan kyai merupakan kepemimpinan karismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan ini mengandung implikasi bahwa seorang kyai tidak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan dalam rule of game sistem administrasi dan manajemen pesantren.
3)      Religio-Feodalisme
Seorang kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam masyrakat feodal. Feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa.
4)      Kecakapan Teknis
Karena dasar kepemimpinan dalam pesantren seperti itu, maka faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dalam perkembangan zaman (Nurcholish Madjid, 1992: 95-96).
Kelemahan kepemimpinan karismatik sebagaimana diungkapkan tersebut di atas, menurut Zamakhsyari Dhofier didasarkan pada sudut pandang yang melihat kelangsungan hidup sebuah pesantren hanya pada kelangsungan individual masing-masing pesantren. Namun sebenarnya, para pemimpin pesantren menyadari sepenuhnya masalah ini. Pemimpin pesantren senantiasa memikirkan kelangsungan hidup pesantrennya sendiri sepeninggalnya. Cara praktis yang ditempuh kyai dalam melestarikan kehidupan pesantren adalah dengan (1) mempersiapkan keluarga yang terdekat menjadi calon pengganti kepemimpinan pesantren, (2) mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antar keluarga kyai, (3) mengembangkan tradisi transmisi pengetahuan dan rantai transmisi intelektual antara sesama kyai dan keluarganya (Zamakhsyari Dhofier, 1984: 61).
Imam Suprayogo (1999: 162) mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan terhadap pesantren yang ada, dapat ditegaskan, “Pesantren yang berhasil membutuhkan pemimpin, bukan pengatur.” Ada perbedaan mendasar antara pemimpin dan pengatur. Seorang pengatur lebih berorientasi pada penerapan aturan-aturan legal formal kepada bawahan sehingga sentuhannya bercorak hierarkis-birokratis. Sementara itu, seorang pemimpin lebih berorientasi untuk mengayomi, melindungi, memberi teladan dalam kehidupan sehari-hari, serta memotivasi sehingga sentuhannya lebih bercorak human skill (keahlian menyadarkan orang lain sebagai bawahan).
Selanjutnya, pola-pola kepemimpinan kyai di pesantren yang selama ini kurang kondusif menghadapi tantangan-tantangan modernisasi perlu (bahkan, harus) diubah menjadi pola-pola kepemimpinan yang lebih responsif terhadap tuntutan zaman. Pola tersebut haruslah mengarah pada kegiatan yang melibatkan lebih banyak orang lain lagi dalam jajaran kepemimpinan, untuk bersama-sama menjalankan roda organisasi pesantren menuju kondisi yang maju dan mapan, baik dari sisi kelembagaan, sistem pendidikan, proses pembelajaran, maupun kualitas santri (Mujamil Qomar, 2007: 71)
Oleh karena itu, pola kepemimpinan pesantren yang umumnya bercorak alami, yaitu berupa pola pewarisan, termasuk dalam estafet kepemimpinan harus segera dirombak agar tidak ditinggalkan masyarakat. Pengembangan pesantren maupun proses pembinaan kader yang akan menggantikan pimpinan yang ada harus memiliki bentuk yang teratur dan menetap. Maka, pesantren  sesungguhnya membutuhkan lebih dari seorang pemimpin. Konsekuensinya, dalam keadaan tertentu pesantren perlu menerapkan sistem kepemimpinan multileaders. Misalnya, ada pesantren yang menerapkan pola dua pemimpin, yaitu pemimpin urusan luar pesantren dan pemimpin bidang kepesantrenan. Dalam pola kepemimpinan ini, terdapat pemimpin umum yang dipegang oleh seorang kyai dan pemimpin harian yang mengurus kegiatan praktis mengenai kependidikan dan sebagainya (Musthofa Rahman, 2002: 117).
Artinya, sistem manajerial pesantren tersebut harus mengarah pada pola kepemimpinan kolektif, sesuai hierarki kepemimpinan. Dengan model ini, pesantren bisa menjadi salah satu lembaga modern sehingga kelangsungan eksistensi pesantren tidak lagi bergantung pada seorang kyai sebagai pemimpin tertinggi secara manunggal. Jika kyai wafat, kepemimpinannya bisa diteruskan oleh pemimpin lainnya secara sistematis. Di samping itu, melalui kepemimpinan kolektif ini, seorang kyai dapat berbagi tugas dengan wakilnya sesuai keahlian yang dimiliki (Musthofa Rahman, 2002: 119-121).
e.       Komponen Pondok Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memiliki elemen-elemen dasar, yakni: kyai, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, masjid, dan pondok (Fuad Asnawi, 2008: 52). Dalam lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren yang diselenggarakan Departemen Agama bulan Mei 1978 di Jakarta, diputuskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu: kyai, yang mendidik serta mengajar; santri dan asramanya; serta masjid (Abd. Rachman Shaleh dkk., 1982: 66).
1)    Pengertian kyai
Dalam sebuah pesantren, kyai merupakan elemen yang paling esensial. ( Lihat Kafrawi,1978 : 20-22). Ia seringkali bahkan merupakan pendiri sebuah pesantren. Kyailah yang merintis, mengasuh, menentukan mekanisme belajar dan kurikulum serta mewarnai pesantren dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keahlian dan kecenderungan yang dimilikinya. Karena itu, karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kyainya. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya (Mujamil Qomar, 2007: 63).
 Zamakhsyari mendefinisikan istilah kyai, dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga hal yang berbeda, yaitu:
1)      Sebagai gelar kehormatan untuk barang yang dianggap keramat, misalnya, nama gamelan atau benda lainya.
2)      Sebagai gelar untuk orang-orang tua pada umumnya.
3)      Sebagai gelar yang diberikan masyarakat kepada seorang ahli agama yang memiliki pesantren maupun yang tidak memiliki pesantren. (Zamakhsyari Dhofier ,1984: 55)
Tugas seorang kyai memang multifungsi: sebagai guru, muballigh, sekaligus manajer (Farchan dan Syarifuddin, 2005: 68-69). Sebagai guru, kyai menekankan kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian muslim yang utama. Sebagai muballigh, kyai berupaya menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun berdasarkan prinsip memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan sebagai manajer, kyai memerankan pengendalian dan pengaturan pada bawahannya.
Nur Syam menambahkan lagi tiga fungsi kyai: Pertama, sebagai agen budaya. Kyai memainkan peran sebagai penyaring budaya yang merambah masyarakat. Kedua, kyai sebagai mediator, yaitu menjadi penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok elite dengan elemen masyarakat lainnya. Ketiga, sebagai makelar budaya dan mediator. Kyai menjadi penyaring budaya sekaligus penghubung berbagai kepentingan masyarakat (Oemar Hamalik, 2006: 142-143).
Seorang kyai tidak saja berperan sebagai filter budaya akibat perubahan yang dibawa arus informasi, namun juga memelopori terjadinya perubahan masyarakat menurut caranya sendiri. Kendatipu derasnya informasi yang masuk, kyai tidak akan kehilangan peranannya bila ia masih sanggup menjaga prinsip-prinsip dan keulamaannya sebagaimana dikatakan oleh Geert dan Horikoshi (Ahmad Tafsir, 2004: 196).
Untuk menjadi seorang kyai, seseorang harus memulai proses yang panjang. Ia biasanya memiliki hubungan kekerabatan dengan seseorang kyai. Setelah ia menyelesaikan pelajarannya di berbagai pesantren, kyai pembimbingnya terakhir akan melatih untuk mendirikan sebuah pesantren. Kemudian ia akan diberikan didikan khusus untuk mengembangkan bakat kepemimpinanya, misalnya diberikan tugas khusus mengajar kitab-kitab yang ditentukan kyai dan biasanya kitab-kitab yang diajarkannya merupakan kitab menengah ke atas (Zamakhsyari Dhofier, 1984 : 59). Menurut Aboebakar Atjeh, seseorang untuk dapat menjadi kyai pertama-tama ia harus diterima masyarakat sebagai kyai. Untuk menjadi kyai tidak memerlukan kriteria formal seperti persyaratan studi atau ijazah sekolah formal, namun demikian, seseorang kyai harus memenuhi kriteria pengetahuannya, kesalehannya, keturunannya, dan jumlah murid (Karel A. Steenbrink dalam Fuad Asnawi, 2008: 54).
2)    Pengertian santri.
Santri adalah siswa yang tinggal dalam Pesantren, guna menyerahkan diri. Penyerahan ini merupakan syarat mutlak untuk memungkin dirinya menjadi anak didik kyai dalam arti sepenuhnya. Santri harus memperoleh kerelaan kyai dengan cara mentaati sekaligus melayani kehendaknya. Kerelaan kyai inilah dalam kalang pesantren disebut dengan “barakah”. Pelayanan harus dianggap tugas terhormat yang merupakan ukuran penyerahan diri santri. (Abdurrahman Wahid, 1399 H :23)
Seorang Santri begitu memasuki Pesantren sudah diperkanalkan kepada sebuah dunia tersendiri, artinya, peribadatan menempati kedudukan tertinggi. Ia akan rela menaati kyai atau guru-gurunya, karena hal ini merupakan menifestasi penyerahan diri secara mutlak yang diyakininya merupakan kerja ibadat. Seorang santri selalu menerima semua yang diajarkan tanpa ada kebutuhan untuk menanyakanya, karena sikap menerima dan rela apa yang diberikan kyai adalah sikap beribadat pula. Menurut Zubaidi Habibullah, kepatuhan santri terhadap kyai tidak ditujukan kepada orangnya, kedudukan, atau gelar yang disandangnya, melainkan kepada Karamah ,’ Kemuliaan yang diberikan Allah kepada kyai’, yakni dalam wujud keilmuanya, ketinggian ilmunya, dan ketinggian akhlaknya. Kenyataan ini sekaligus menunjukan bahwa ketundukan santri kepada kyai disebabkan karena performance, realisasi kompetensi keagamaan, yang dimiliki kyai akibat dari pancaran jiwa dari karamah kyai. Dengan demikian, meski ada batas struktur sosial secara normatif antara kyai dengan santri, namun derajat keduanya masih dalam ketundukan dan keimanan kepada Allah. (Tamyiz Burhanuddin, 2001:111)
3)    Pengajaran kitab klasik
Di kalangan pondok pesantren, kitab klasik (al-kutub al-qadimah) disebut juga kitab kuning. Yang dimaksud dengan “kitab kuning” adalah istilah yang biasa dipakai di lingkungan pesantren untuk kitab-kitab karangan ulama arab pada abad XII sampai dengan abad XV Masehi yang dijadikan standar pengajaran ilmu agama di hampir semua pesantren-pesantren di Indonesia melalui pengajaran yang sifatnya nonklasikal ( Sudjoko Prasodjo, 1974: 1). Bahkan karena tidak dilengkapi dengan sandangan (syakl), kitab kuning juga kerap disebut oleh kalangan Pondok Pesantren sebagai “kitab gundul.” Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini dengan “kitab kuno.”
Dalam tradisi intelektual Islam untuk penyebutan istilah kitab karya ilmiah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-‘ashriyyah). Apa yang disebut dengan kitab kuning adalah pada dasarnya mengacu pada kategori pertama yakni kitab klasik (al-kutub al-qadimah).
Pengajaran kitab-kitab ini meskipun berjenjang namun materi yang diajarkan kadang-kadang berulang-ulang. Hanya berupa pendalaman dan perluasan wawasan santri. Memang ini menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan pengajaran Pondok Pesantren yang diselenggarakan berdasarkan sistem (kurikulum) kitabi. Berdasarkan pada jenjang ringan beratnya muatan kitab. Tidak berdasarkan tema-tema yang memungkinkan tidak terjadinya pengulangan, namun secara komprehensif diajarkan pemateri pada para santri. Meski diajarkan dengan sistem kitabi tetap terjaga sistematika kitab berdasarkan pada cabang ilmu (fan-nya) (Depag RI, 2003: 50-51).

f.       Sistematika Pendidikan Pesantren
1)      Kurikulum Pesantren
Penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran Pondok Pesantren berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Tidak ada keseragaman dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran pada sebagian Pondok Pesantren, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang makin lama semakin berubah, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat di lingkungan Pondok Pesantren sendiri. Sebagian lagi tetap mempertahankan sistem pendidikan dan pengajarannya yang semula. Karena yang terpenting adalah terselenggaranya pengajian Pondok Pesantren sebagai satu ciri utama (Depag RI, 2003: 40-41).
Selama ini kurikulum dianggap sebagai penentu keberhasilan pendidikan, termasuk pendidikan Islam. Karena itu, perhatian para guru, dosen, kepala sekolah/madrasah, ketua, rektor, maupun praktisi pendidikan terkonsentrasi pada kurikulum. Padahal kurikulum bukanlah penentu utama. Dalam kasus pendidikan di Indonesia misalnya, problem paling besar yang dihadapi adalah masalah kesadaran, meskipun bukan berarti kurikulum tidak menimbulkan problem. Jika diamati, kurikulum pesantren pada masa lalu yang sederhana mampu melahirkan kyai-kyai besar, sementara kurikulum pesantren masa kini justru tidak mampu melahirkan kyai-kyai besar. Jika diperhatikan dari sisi kesadaran akan mudah dijawab, tetapi bila diperhatikan dari segi kurikulum, lebih sulit dijelaskan (Mujamil Qomar, 2007: 149-151).
Kurikulum pendidikan Islam memiliki ciri-ciri tertentu. Al Syaibani mencatat cirri-ciri tersebut sebagai berikut:
a)      Menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat, dan tekniknya.
b)      Memiliki perhatian yang luas dan kandungan yang menyeluruh.
c)      Memiliki keseimbangan antara kandungan kurikulum dari segi ilmu dan seni, kemestian, pengalaman, dan pengajaran yang beragam.
d)     Berkecenderungan pada seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, pengetahuan teknik, latihan kejuruan, dan bahasa asing untuk perorangan maupun bagi mereka yang memiliki kesediaan, bakat, dan keinginan.
e)      Keterkaitan kurikulum dengan kesediaan, minat, kemampuan, kebutuhan, dan perbedaan perorangan di antara mereka (Omar Muhammad Al Syaibani, 1979: 490-512).
Abdurrahman Wahid (1399 H: 135) menyatakan bahwa kurikulum yang berkembang di Pondok Pesantren selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Pola itu dapat diringkas ke dalam pokok-pokok sebagai berikut:
a)      kurikulum itu ditujukan untuk mencetak “ulama” di kemudian hari;
b)      struktur dasar kurikulum itu adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kyai/gurunya;
c)      secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, bahkan pada Pondok Pesantren yang memiliki sistem pendidikan berbentuk sekolah sekalipun.
Dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja, kurikulum dengan karakteristik di atas telah menghasilkan alumni yang memiliki lapangan-lapangan kerja “tradisional” seperti menjadi guru, petani, pedagang kecil, pejabat pemerintah pada jabaran yang tidak membutuhkan spesialisasi, dan seterusnya. Karena pendidikan yang diberikan tidak menjurus kepada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan agama, maka tidaklah dapat diminta dari pesantren menurut pola di atas untuk menyediakan tenaga kerja yang terdidik khusus untuk sesuatu jenis pekerjaan. Sifatnya yang ditekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup tertentu yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya.
Dalam pembelajaran yang diberikan oleh Pondok Pesantren kepada santrinya, sesungguhnya Pondok Pesantren mempergunakan suatu bentuk “kurikulum” tertentu yang telah lama dipergunakan. Yaitu dengan sistem pengajaran tuntas kitab yang dipelajari (kitabi) yang berlandaskan pada kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama Pondok Pesantren tersebut untuk masing-masing bidang yang studi yang berbeda. Sehingga akhir sistem pembelajaran yang diberikan oleh Pondok Pesantren bersandar kepada tamatnya buku atau kitab yang dipelajari, bukan pada pemahaman secara tuntas untuk suatu topik (maudlu’i) (Depag RI, 2003: 44). Penamaan batasan penjenjangan pun bermacam-macam. Ada yang mempergunakan istilah marhalah, sanah dan lainnya. Bahkan ada pula yang bertingkat seperti Madrasah Formal, ibtida’I, tsanawiy dan ‘aly.
Dalam pelaksanaannya sekarang ini dari sekian banyak sistem atau tipe pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren, secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua bentuk yang penting:
a)      Pondok Pesantren Salafiyah
Pondok Pesantren Salafiyah adalah Pondok Pesantren yang menyelenggarakan pengajaran al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran (pendidikan dan pengajaran) yang ada pada Pondok Pesantren ini dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis Pondok Pesantren ini pun dapat meningkat dengan membuat kurikulum yang disusun sendiri berdasarkan cirri khas yang dimiliki oleh Pondok Pesantren. Penjenjangan dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun (tema kitab) yang sama, setelah tamatnya suatu kitab.
Para santri dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan Pondok Pesantren, dapat juga mereka tinggal di luar Pondok Pesantren (santri kalong).
b)      Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah)
Pondok Pesantren Khalafiyah adalah Pondok Pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU dan SMK), maupun jalur sekolah berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA, atau MAK). Biasanya kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada Pondok Pesantren ini memiliki kurikulum Pondok Pesantren yang klasikal dan berjenjang, bahkan pada sebagian kecil Pondok Pesantren, pendidikan formal yang diselenggarakan berdasarkan pada kurikulum mandiir, bukan dari Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama. Penjenjangan dapat dilakukan berdasarkan pada sekolah formalnya atau berdasarkan pengajiannya (seperti pada Pondok Pesantren Salafiyah).
Para santri yang ada pada Pondok Pesantren adakalanya “mondok,” dalam arti sebagai santri dan sebagai siswa sekolah. Adakalanya pula sebagian siswa lembaga sekolah bukan santri Pondok Pesantren, hanya ikut pada lembaga formal saja. Bahkan dapat pula santrinya hanya mengikuti pendidikan kepesantrenan saja (takhassus).
Pada pokoknya Pondok Pesantren dengan berbagai bentuk atau tipe pola penyelenggaraannya tetap sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu peningkatan keimanan dengan ibadah, penyebaran ilmu ajaran Islam dengan tabligh, dan memberdayakan potensi umat serta menerapkan nilai-nilai kemasyarakatan yang baik dengan amal saleh (Depag RI, 2003: 41-43).
2)      Manhaj dan Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara-cara yang dipergunakan untuk menyampaikan ajaran sampai ke tujuan. Dalam kaitannya dengan Pondok Pesantren, ajaran adalah apa yang terdapat dalam kitab kuning atau kitab rujukan yang dijadikan pegangan oleh Pondok Pesantren tersebut. Pemahaman terhadap teks-teks ajaran tersebut dapat dicapai melalui metode pembelajaran tertentu yang biasa digunakan oleh Pondok Pesantren. Selama kurun waktu yang panjang, Pondok Pesantren telah memperkenalkan dan menerapkan beberapa metode: weton atau bandongan, sorogan, dan hafalan (tahfidz). Di beberapa Pondok Pesantren dikenal metode munazharah. Metode-metode ini dapat diterapkan dalam klasikal maupun non-klasikal.
1)      Metode Sorogan
Pengajaran sistem Sorogan dilaksanakan dengan cara santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan kyai, kemudian kyai  memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalnya, dan dilanjutkan dengan penjabaranya. Pengajaran dilaksanakan santri berhadapan dengan kyai satu persatu. ( Sudjoko Prasodjo dkk, 1982 :53)
2)      Metode Bandongan (Wetonan)
Sistem pengajian berbentuk halaqah (lingkaran) atau disuatu tempat, dimana kyai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan persoalan-persoalan yang disebutkan dalam teks yang dipelajari. Ciri utama pengajaran ini adalah pemberian pengajaran yang ditekankan pada penangkapan harfiyyah (letterljk) atas suatu kitab. Pendekatan yang digunakan adalah menyelesaikan pembacaan kitab ( teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan membaca kitab yang lain. ( Aburrahman Wahhid, 1399 H:73).
Metode Sorogan dan Bandongan masih bersifat pasif dimana belum terjadi dialog antara santri dan kyai. Kedua metode ini sama-sama memiliki ciri pada penekanan yang sangat kuat pada pemahaman tekstual atau literal. Kedua metode ini dapat bermanfaat ketika jumlah peserta didik cukup banyak dan waktu yang tersedia relative sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak. Tidak adanya dialog antara santri dan kyai menjadikan santri pasif, akhirnya daya kreatifitas dan aktivitas santri menjadi lemah. Untuk mengatasinya, sebaiknya guru/kyai menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya dialog, setidaknya ada waktu dan kesempatan santri bertanya kepada kyai.
3)      Metode Hafalan (tahfidz)
Metode ini telah menjadi cirri yang melekat pada sistem pendidikan tradisional, termasuk Pondok Pesantren. Hal ini amat penting pada sistem keilmuan yang lebih mengutamakan argument naqli, transmisi, dan periwayatan (normatif). Akan tetapi ketika konsep keilmuan lebih menekankan rasionalitas seperti yang menjadi dasar sistem pendidikan modern, metode hafalan dianggap kurang penting. Sebaliknya, sistem pendidikan modern lebih menekankan kreativitas dan kemampuan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki. Metode hafalan masih relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar dan menengah. Pada usia tingkat atas sebaiknya dikurangi dengan mempergunakan metode ini pada rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Penekanan utama diberikan pada metode pamahaman dan diskusi.
4)      Metode Diskusi (musyawarah/munazharah/mudzakarah)
Dalam metode ini, penyajian bahan pelajaran dilakukan dengan cara santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topik atau masalah tertentu yang ada dalam kitab kuning, atau tidak ada dalam kitab kuning dan merupakan permasalahan baru, untuk diupayakan memecahkannya dengan merujuk pada kitab kuning. Dalam kegiatan ini kyai atau guru bertindak sebagai “moderator.” Dengan metode ini diharapkan dapat memacu santri untuk dapat lebih aktif dalam belajar dan akan tumbuh serta berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis dan logis.
Adapun kegiatan mudzakarah dapat diartikan sebagai pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah. Kegiatan ini dibedakan menjadi dua macam berdasarkan peserta, mudzakarah yang diadakan sesame kyai dan para ulama dan mudzakarah yang diselenggarakan sesama santri. Bila untuk kyai dan para ulama kegiatan ini lebih bertujuan untuk mencari jawaban dan jalan keluar untuk suatu masalah, maka kegiatan yang dilakukan para santri lebih berupa melatih diri dalam memecahkan suatu persoalan yang hasilnya kemudian diberikan kepada kyai. Dalam diskusi santri ini, kyai kadang-kadang bertindak sebagai pimpinan diskusi atau biasanya oleh santri senior atau bahkan para santri dibiarkan saja secara mandiri menyelenggarakannya.
Di beberapa Pondok Pesantren mengaji kitab dengan metode di atas berjalan cukup baik dan bahkan mampu memacu para santri untuk melakukan telaah atas kitab-kitab yang besar-besar. Beberapa santri senior membaca beberapa kitab dalam satu majelis dan mendiskusikannya di hadapan kyai yang lebih bertindak sebagai fasilitator atau instruktur. Cara demikian memberikan dampak cukup baik bagi para santri dalam pengajiannya. Di masa lalu, mengaji dengan metode ini bahkan menjadi tradisi para ulama. Perdebatan seringkali berjalan seru, tetapi tetap disertai dengan sikap saling menghormati dan menghargai.
5)      Sistem Majelis Taklim (musyawarah/munazharah)
Metode yang dipergunakan adalah pembelajaran dengan cara ceramah, biasanya disampaikan dalam kegiatan tabligh atau kuliah umum.
6)      Metode Penulisan Karya Ilmiah
Dalam metode ini, santri menulis resume atau topik yang ada dalam kitab kuning. Permasalahan yang diangkat bisa merupakan masalah yang baru maupun yang sudah ada dalam kitab kuning dan merupakan studi perbandingan. Penulisan dapat dilakukan menggunakan bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Salah satu Pondok Pesantren yang telah menerapkan metode ini adalah Pondok Pesantren Nurul Ummah Putra dan Putri. Untuk memenuhi syarat kelulusan sebagai santri Madrasah Diniyah di Pondok Pesantren tersebut, santri diwajibkan membuat risalah (karya ilimiah).
Metode ini diharapkan dapat menghasilkan banyak manfaat: pertama, sebagai evaluasi agar guru dapat mengetahui sejauh mana santri mampu memahami materi-materi yang disajikan; kedua, sebagai motivator bagi santri untuk membaca dan menelaah kitab yang diajarkan maupun kitab lain dalam tema atau topic sejenis. Yang disebut terakhir ini di masa mendatang bisa melahirkan para “santri penulis”. Selama kurun waktu yang cukup panjang, tradisi menulis karya ilmiah sebagaimana dilakukan para ulama terdahulu semakin berkurang (Depag RI, 2003: 44-47).
Ahmad Tafsir mengatakan, pengajaran dipesantren mencakup pembinaan keterampilan, kognitif, dan afektif. Untuk menanamkan rasa iman, rasa cinta kepada Allah, rasa nikmatnya beribadah, dengan mengutip pendapat al- Nahlawi, agaknya sulit ditempuh dengan pendekatan empiris atau logis. Al-Nahlawi menawarkan beberapa metode untuk  menanamkan rasa beriman, yakni dengan metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi, metode kisah Qurani dan Nabawi , metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode pembiasaan, metode ‘ibrah (pelajaran) dan mauidzoh (nasihat), dan metode targhib (janji) dan targhib ( ancaman). Dalam konteks inilah metode perpujian dan metode wiridan termasuk rincian didalamya. Metode perpujian adalah metode pembacaan doa kepada Allah atau doa kepada nabi yang tercinta, ataupun kata-kata hikmah yang dibaca bersama-sama dengan irama lagu sebelum melaksanakan sholat berjamaah, sedangkan metode wiridan merupakan pengucapan doa-doa berulang-ulang bersama-sama yang dibaca setelah menyelesaikan sholat berjamaah ( Ahmad Tafsir, 2004:135-150).
2.      Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren
a.       Pengertian Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren
Goetsch dan Davis mendefinisikan bahwa mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono dkk., 2003: 4). Sedangkan Edward Sallis, mendefinisikan bahwa mutu bukanlah suatu akhir, namun sebagai suatu alat dimana produk atau jasa dinilai, yakni apakah telah memenuhi standar yang telah ditetapkan, sebagaimana diungkapkan pada kutipan berikut.
“Quality is not the end in itself, but a means by which the end produc is judged to be up to standart” (Sallis, 1993: 23).

Kualitas sebagai konsep relatif memiliki dua aspek, yaitu aspek prosedural dan aspek transformasional. Aspek Prosedural adalah mutu jasa atau produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi standar yang telah ditetapkan sebelumnya, sedangkan aspek transformasional adalah ukuran mutu lebih mengarah pada peningkatan mutu dan perbaikan organisasi. Aspek ini meliputi, (1) pelayanan prima pada langganan, tanggung jawab sosial yang tinggi, kepuasan pelanggan, dan perawatan, (2) pelanggan dinomorsatukan, (3) di lingkungan pendidikan, budaya transformasional adalah fungsi dari motivasi yang dimiliki pendidik. Secara umum mutu adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalm memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat (Adi Putra, 2014: 49).
Dengan demikian ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mulyasa sebagai berikut:
“Pendidikan yang bermutu bukan hanya dilihat dari kualitas lulusannya saja, tetapi juga mencakup bagaimana lembaga pendidikan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan sesauai dengan standar mutu yang berlaku. Pelanggan dalam hal ini adalah pelanggan internal (tenaga kependidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat serta pemakai lulusan)” (Mulyasa, 2004: 226).

Departemen Pendidikan Nasional mengartikan mutu sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan. Dalam  konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (DepDikNas, 2005: 6).
Input pendidikan meliputi sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk terjadinya proses. Sesuatu di sini berupa sumber daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan sebagai pemandu berlangsungnya proses. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, yakni kepala madrasah, guru, karywan, dan siswa. Selain itu, sumber daya selebihnya yakni: peralatan, perlengkapan, fasilitas ruang, dan sebagainya. Perangkat lunak mencakup: struktur organisasi sekolah, job description, planning, program dan sebagainya. Sedangkan harapan-harapan yang dimaksud di sini berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai madrasah. Kesiapan input diperlukan untuk dapat tercapainya proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian, tinggi rendahnya mutu input dapat dapat diukur dari tingkatan kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input.
Proses pembelajaran merupakan proses berubahnya dari sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Hal-hal yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Pada skala kecil/sekolah, proses di sini adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan monitoring serta evaluasi. Dalam hal ini proses pembelajaran menempati tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan proses-proses lain.
Proses dikatakan bermutu tinggi jika pengoordinasian, pemaduan, dan penyerasian input dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu menigkatkan minat dan motivasi belajar, serta dapat membedayakan peserta didik. Peserta didik tidak hanya menguasai pengetahuan saja, namun dapat memahami, menghayati, dan merealisasikan dalam kegiatan atau perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Output pendidikan, merupakan hasil kinerja sekolah yaitu prestasi yang dihasilkan dari proses atau perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitas, efektifitas, produktifitas, inovasi, kualitas kehidupan kerja dan moral kerja serta efesiensinya. Output pondok pesantren dikatakan berkualitas tinggi jika prestasi pesantren, khususnya prestasi peserta didik menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik dan prestasi non-akademik (DepDikNas, 2005: 6).
Mutu sebagaimana dikemukakan Sallis, ada dua macam yakni mutu absolut da mutu relatif. Mutu absolut adalahpencapaian standar tertinggi dalam suatu pekerjaan, produk, dan layanan. Mutu absolut tersebut identik dengan harga yang tinggi dan menjadi kebanggaan pemakainya. Sedangkan mutu relatif adalah pencapaian standar dalam mutu tertentu dalam suatu pekerjaan ataupun produk barang yang sudah ditetapkan sebelumnya, dan dengan demikian mutu bukanlah suatu akhir yang tidak ada peluang perbaikan lagi (Sallis, 1993: 22-23).
b.      Aspek-aspek Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren
Dalam rangka mengukur kualitas yang dihasilkan (produk) oleh lembaga pendidikan terdapat delapan aspek yang perlu diperhatikan, yang mencakup:
1)      Performance, sesuatu yang berkaitan dengan aspek fungsional dari produk tersebut. Suatu produk dikatakan bermutu apabila mempunyai fungsi yang sesuai dengan kegunaannya.
2)      Features, sesuatu yang berkaitan dengan pilihan dan pengembangannya yang mempunyai keistimewaan sebagai tambahan.
3)      Keandalan (reability), berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam penggunaan produk tersebut. Sehingga dibutuhkan kehandalan dalam memberi pelayanan sesuai yang dijanjikan.
4)      Serviceability, kemudahan dalam memperbaiki, tersedia suku cadangnya dan tanggap dalam menangani keluhan pelanggan.
5)      Konfirmasi (Conformance), tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
6)      Durability, berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari produk tersebut.
7)      Estetika (aesthetic), desain dan pembungkusan dari produk itu, sehingga pelanggan tertarik untuk memakai atau menggunakan produk tersebut.
8)      Kualitas yang dirasakan (perceived quality), perasaan pelanggan dalam menggunakan produk tersebut (Vincent Gaspers, 2001: 129-130).
c.       Faktor-faktor Mutu Pendidikan di Pondok Pesantren
Permasalahan mutu di dalam lembaga pendidikan Islam (termasuk Pondok Pesantren) merupakan permasalahan yang paling serius dan paling kompleks. Mutu pendidikan yang dimaksudkan adalah kemampuan lembaga pendidikan dalam mendayagunakan sumber-sumber pendidikan untuk meningkatkan kemampuan belajar seoptimal mungkin (Ace Suryadi dan H.A.R. Tilaar, 1993: 159).
Nanang Fatah (2000: 56) menyatakan faktor internal yang memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu, yaitu:
1)      Kesejahteraan guru
2)      Kemampuan guru
3)      Sarana kelas
4)      Buku-buku pelajaran
Sedangkan faktor lain yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
1)      Siswa, terutama yang menyangkut kesiapan dan motivasi belajarnya.
2)      Guru, terutama menyangkut kemampuan professional, moral kerja (kemampuan personal), dan kerja samanya (kemampuan sosial).
3)      Kurikulum, terutama menyangkut relevansi isi dan operasionalisasi proses pembelajarannya.
4)      Dana, sarana, dan prasarana, terutama menyangkut kecukupan dan efektivitas dalam mendukung proses pembelajaran.
5)      Masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi) terutama menyangkut partisipasi mereka dalam pengembangan program-program pendidikan di lembaga pendidikan (Mujamil Qomar, 2007: 205).
Mutu pendidikan pesantren bersifat aplikatif, dalam artian mutu sebuah pembelajaran harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari. Hal tersebut didasarkan adanya pandangan di kalangan pesantren bahwa puncak keilmuan dan buah dari ilmu adalah pengamalan dan perbaikan sikap. Di pesantren dikenal istilah ”al-‘Ilmu bila ‘amalin ka al-syajari bila tsamarin”, bahwa ilmu tanpa diamalkan bagaikan pohon tidak berbuah, indah dilihat tapi tidak memberi kemanfaatan apa pun bagi sekitarnya. Kenyataan ini menuntut siswa mengamalkan ilmu yang mereka pelajari.
Sebagaimana dikutip dalam kitab Tafhimul Muta’allim yang diterjemahkan oleh KH. Hummam Nashiruddin (1963: 55), menurut Ali bin Abu Talib, kualitas seseorang dalam mencari ilmu ditentukan oleh 6 faktor, yaitu adanya kecerdasan, cinta ilmu, kesabaran, bekal biaya, petunjuk guru yang dipilih, dan masa pendidikan yang lama, sebagaimana tercantum dalam nadhom, ‘bait’, berikut:
“Ingatlah, kamu tidak akan memperoleh ilmu pengetahuan kecuali dengan enam perkara yang akan kujelaskan semua kepadamu secara ringkas, yakni: kecerdasan, cinta ilmu, kesabaran, bekal biaya, petunjuk guru, dan masa yang lama.”

1)      Kecerdasan
Kecerdasan merupakan syarat seseorang dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Kecerdasan di sini dapat diartikan cepat mengerti atau memahami. Kecerdasan bagi seorang santri termasuk dalam bertindak dan bersikap. Seorang santri hendaknya memiliki kesungguhan, keuletan, dan cita-cita yang luhur.
2)      Cinta Ilmu
Berdasarkan kata asli yang digunakan, yaitu Hirshin, menurut kamus Bahasa Arab Al-Munawwir berarti ketamakan. Bagi santri yang menuntut ilmu ketamakan akan ilmu sangat dibutuhkan. Ketamakan inilah yang menjadikan santri cinta akan ilmu.
Cinta kepada ilmu merupakan faktor yang mendukung keberhasilan dalam pembelajaran. Berbagai ayat Al Qur’an dan dan hadis yang berkaitan dengan pentingnya ilmu pengetahuan menjadi motivasi bagi para santri untuk mencintai dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana hadis nabi. Oleh karenanya, seorang muslim mencintai ilmu pengetahuan didasarkan atas adanya kewajiban dalam menuntut ilmu .
3)      Kesabaran
Di dalam Kitab Tafhimul Muta’allim yang merupakan terjemahan Kitab Ta’limul Muta’allim (KH. Hummam Nashiruddin, 1963: 52-55) dikatakan bahwa keberanian tidak bergantung pada kekuatan fisik (badan), tetapi keberanian itu berhubungan dengan kesabaran dan ketahanan uji. Sehingga dianjurkan bagi para santri yang sedang menuntut ilmu untuk bersabar. Termasuk sabar adalah betah belajar dengan satu guru dan satu kitab sehingga tidak meninggalkan guru atau kitab tersebut sebelum selesai dengan sempurna. Termasuk juga sabar mempelajari salah satu cabang ilmu, seperti cabang ilmu Fiqh, sehingga santri diharapkan tidak terburu-buru berganti cabang ilmu yang lain sebelum cabang ilmu sebelumnya dipelajari dengan sempurna.
Santri juga diharapkan sabar menetap dalam satu pondok, dan menghindari berpindah-pindah pondok jika bukan karena keadaan darurat. Dikatakan bahwa berpindah-pindah pondok dapat mengganggu fokus atau konsentrasi santri, menyia-nyiakan waktu dan juga bermasalah dengan guru. Sehingga santri harus dapat menahan keinginan yang berasal dari hawa nafsunya. Termasuk di dalamnya sabar dalam kesederhanaan selama di Pondok Pesantren. Santri juga diharapkan sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian selama menuntut ilmu di Pondok Pesantren, karena kesuksesan hanya bisa diraih melalui berbagai cobaan dan ujian.
4)      Petunjuk Guru
Keberadaan guru dalam seluruh kehidupan santri demikian pentingnya, sehingga santri harus mempertimbangkan betul-betul sebelum memutuskan untuk belajar dengan seorang guru. Dalam memilih guru, seorang santri hendaknya memilih guru yang betul-betul ‘alim yakni ahli dalam ilmu agama), aris yakni bijaksana, wira’I yakni orang yang selalu menahan diri dari perbuatan yang dilarang ataupun makruh ataupun yang belum jelas-jelas diperkenankan oleh agama, dan juga lebih tua atau berpengalaman (KH. Hummam Nashiruddin, 1963: 45).
Berkaitan dengan keberadaan guru, sangat penting bagi seorang santri untuk menghormati guru. Penghormatan terhadap guru sangat mempengaruhi keberhasilan dan kemanfaatan ilmu bagi seorang santri. Dikatakan dalam Kitab Ta’limul Muta’allim (1963: 61-62), Ali bin Abu Talib berkata:
“Aku adalah budak dari seseorang yang telah mengajarkan kepadaku, walau hanya satu huruf. Jika orang tersebut berkeinginan menjual aku, maka terjadilah. Jika berkehendak memerdekakan aku, atau menetapkan aku jadi budaknya, maka berlakulah.”

Termasuk menghormati guru di antaranya adalah menjaga agar jangan sampai berjalan di depan guru, tidak duduk di tempat duduk guru, tidak memulai pembicaraan sebelum guru tanpa seizin guru, tidak banyak bicara di depan guru, mempertimbangkan kapan dan apa dalam bertanya kepada guru, dan melaksanakan perintah guru yang tidak bertentangan dengan agama.
5)      Bekal Biaya
Dalam menuntut ilmu pengetahuan dibutuhkan biaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan santri dalam rangka menunjang keberhasilannya dalam menuntut ilmu di Pondok Pesantren.
6)      Masa yang lama
Syarat terakhir pembelajaran di Pondok Pesantren adalah masa yang lama. Dalam kultur pesantren dimensi yang diberlakukan memiliki corak tersendiri yang terlihat pada lamanya belajar di pesantren. Tidak terdapat ukuran tertentu mengenai lamanya massa belajar di pesantren karena penentuannya diserahkan kepada santri sendiri sehingga sering dijumpai santri yang belajar bertahun-tahun di sebuah pesantren meskipun sudah menyelesaikan jenjang pendidikannya, sampai ia dipanggil orang tuanya untuk berumah tangga. Dalam hal ini dikenal ungkapan “uthlubul ‘ilma minal mahdi ila al-lahdi”, mencari ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat. Ki Hajar Dewantara menyatakan, “Pada saat tertentu pendidikan dengan sengaja dapat berakhir, tetapi pendidikan diri sendiri akan berjalan terus menerus.”
Masa yang lama dalam memperoleh pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan “long life education”, pembelajaran seumur hidup, dapat diartikan santri dalam memperoleh pengetahuan melalui proses pembelajaran maupun proses pemerolehan sejalan dengan kian meluasnya pengetahuan tentang dunianya.
3.      Manajemen Sumber Daya Manusia
a.       Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen berasal dari bahasa Latin, yaitu berasal dari kata “manus” yang berarti tangan dan “agree” yang berati melakukan. Penggabungan kata manus dan agree menjadi kata kerja “managere”, yang berarti menangani. Kata “managere” diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management¸ dan manager untuk orang yang yang melakukan kegiatan majemen. Manajemen akhirnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “manajemen” yaitu penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai suatu sasaran. Sedangkan Departemen Agama memberikan batasan, manajemen adalah suatu proses sosial yang direncanakan untuk menjamin kerja sama, partisipasi, dan keterlibatan sejumlah orang dalam mencapai sasaran dan tujuan tertentu yang ditetapkan secara efektif (Fuad Asnawi, 2008: 62).
Manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan bagian dari manajemen keorganisasian yang memfokuskan diri pada sumber daya manusia. Adalah tugas MSDM untuk mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh tenaga kerja yang puas akan pekerjaannya. Menurut Husein Umar ( 2004: 3) Mengelompokkan tugas MSDM atas tiga (3) fungsi manajerial : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian; fungsi operasional : pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja; fungsi ketiga adalah kedudukan MSDM dalam pencapaian tujuan organisasi perusahaan secara terpadu.
Sedangkan sumber daya manusia menurut Nawawi Hadari ada tiga. Pertama, sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan). Kedua, sumber daya manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya. Ketiga, sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan aset dan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) dalam organisasi bisnis yang dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.
Ada beberapa pengertian dari manajemen sumber daya manusia yang dikemukakan oleh para ahli. Mutiara Sibarani mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan analisis pekerjaan, evaluasi pekerjaan, pengadaan, pengembangan, kompensasi, promosi, dan pemutusan kerja guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hani Handoko mengatakan manajemen sumber daya manusia adalah penarikan, seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan sumber daya manusia untuk mencapai tujuan individu maupun tujuan organisasi. Kemudian Malayu S.P. Hasbuan dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia, mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan/lembaga pendidikan, karyawan dan masyarakat.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah kemampuan mengatur dan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk dimafaatkan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan oleh suatu lembaga dan mampu mengintegrasikan antara sumber daya manusia dengan yang lainnya. Karena baik atau tidaknya suatu lembaga tergantung dengan sumber daya manusia dan bagaimana mengatur sumber daya manusia tersebut (Adi Putra, 2014: 19-21).
b.      Komponen Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia pada lembaga pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu pendidik dan tenaga kependidikan. Penelitian ini memfokuskan pada pendidik yang terdiri dari kepala pondok pesantren dan guru/ustadz. Berikut ini akan dipaparkan tugas dan fungsi pokok pendidik.
1)      Kepala Pondok Pesantren
a)      Menyusun program kerja pondok pesantren jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.
b)      Menyusun program kerja berkala (semester).
c)      Menyusun program pengembangan pondok pesantren.
d)     Menyusun kurikulum.
e)      Melaksanakan supervisi kamar/asrama.
f)       Memberikan pembianaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan.
2)      Pendidik/guru/ustadz
a)      Merencanakan pembelajaran
b)      Melaksanakan pembelajaran
c)      Melaksanakan kelompok kerja guru/workshop dan sejenisnya
d)     Menyusun silabus/RPP
e)      Membimbing santri dalam mengembangkan bakat minat
f)       Mengisi daftar nilai santri
g)      Melaksanakan remidi dan pengayaan
h)      Melaksanakan kegiatan bimbingan kepada teman sejawat
i)        Membuat alat peraga
j)        Menumbuhkembangkan sikap menghargai karya
k)      Mengikuti kegiatan sosialisasi kurikulum
l)        Melaksanakan tugas tertentu
m)    Mengadakan pengembangan program pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya
n)      Membuat catatan tentang hasil kemajuan belajar santri
o)      Mengisi dan meneliti daftar hadir santri sebelum memulai pembelajaran.
c.       Fungsi-fungsi Managemen Sumber Daya Manusia
Dalam rangka mencapai tujuan suatu organisasi atau lembaga pendidikan secara efektif dan efisien manajemen harus difungsikan sepenuhnya pada setiap lembaga pendidikan atau organisasi. Untuk lebih jelas terperinci berikut ini sesuai dengan pendapat Gary Dessler dalam bukunya Manajemen sumber daya manusia (Human Resources Management, 1997: 2) mengatakan bahwa manajemen sumber daya manusia meliputi:
1)      Melakukan analisis jabatan (menetapkan sifat dan pekerjaan masing-masing karyawan)
2)      Merencanakan kebutuhan tenaga kerja dan merekrut para calon pekerja
3)      Menyeleksi para calon pekerja
4)      Memberikan orientasi dan pelatihan bagi karyawan baru
5)      Menata-olah upah-upah dan gaji (cara mengkompensasi karyawan)
6)      Menyediakan insentif dan kesejahteraan
7)      Menilai kerja
8)      Mengkomunikasikan (wawancara, penyuluhan, pendisiplinan)
9)      Pelatihan dan pengembangan
10)  Membangun komitmen karyawan
11)  Apa yang hendaknya diketahui seorang manajer
12)  Peluang yang adil dan tindakan afirmatif
13)  Kesehatan dan keselamatan karyawan
Sunarto dan Sahedhy Noor (2001: 3) membagi fokus perencanaan sumber daya manusia menjadi 3, yaitu sempit, sedang, dan lebar. Rincian ketiga pembagian tersebut adalah sebagai berikut:
Gambar 1.1. Fokus Perencanaan Sumber Daya Manusia
Sempit
Sedang
Lebar
·         Perekrutan
·         Penyeleksian
·         Perekrutan
·         Penyeleksian
·         Pelatihan dan pengembangan
·         Perekrutan
·         Penyeleksian
·         Pelatihan & pengembangan
·         Sistem imbalan
·         Sistem informasi sumber daya manusia
·         Kesehatan & keselamatan
·         Penilaian


Dalam tesis ini, peneliti menggunakan Fokus Perencanaan Sumber Daya Manusia dalam kelompok sedang yang terdiri dari 7 kegiatan pokok saja, yaitu:
1)      Perencanaan
2)      Rekrutmen dan seleksi
3)      Orientasi dan penempatan
4)      Pengembangan karir
5)      Pelatihan dan pengembangan
6)      Kompensasi
7)      Penilaian kerja
Berikut adalah penjelasan dari fungsi-fungsi tersebut di atas:
1)      Perencanaan
Perencanaan pada dasarnya merupakan pengambilan keputusan sekarang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang. Menurut Ngalim Purwanto perencanaan adalah aktivitas memikirkan dan memilih rangkaian tindakan-tindakan yang tertuju pada tercapainya maksud-maksud dan tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto, 2003: 15). Perencanaan memiliki fokus perhatian untuk menjamin tenaga kerja dalam suatu lembaga menduduki berbagai kedudukan, jabatan, atau pekerjaan yang tepat, pada waktu dan tempat yang tepat, dan kesemuanya dalam rangka pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan (Sondang P. Siagaan, 2008: 41). Perencanaan yang matang lebih memungkinkan tercapainya tujuan yang ditargetkan, oleh sebab itu perencanaan harus berkesinambungan dan menjadi titik sentral perhatian utama.
Oleh karena itu, agar dapat mewujudkan SDM yang kompeten dan kompetitif diperlukan kemampuan untuk mengidentifikasi SDM yang berkualitas. Usaha untuk mengidentifikasi tersebut harus dilakukan melalui perencanaan, agar memperoleh tenaga kerja yang mampu melaksanakan tugas-tugas yang telah ditetapkan dalam deskripsi jabatannya. Perencanaan ini disusun tidak hanya untuk memenuhi rencana strategis baik yang bersifat jangka panjang, menengah, dan pendek, akan tetapi juga rencana operasionalnya.
Ada lima langkah penting yang perlu diperhatikan untuk membuat perencanaan yang baik dan efektif, yaitu sebagai berikut:
a)      Perencanaan yang efektif dimulai dengan tujuan secara lengkap dan jelas. Kemudian tujuan yang dipilih adalah tujuan yang memudahkan dalam pencapaiannya.
b)      Perumusan kebijakan. Tujuan kebijakan adalah memperhatikan dan menyesuaikan tindakan-tindakan yang akan dilakukan dengan faktor-faktor lingkungan apabila tujuan tercapai.
c)      Analisis penetapan cara dan sarana untuk mencapai tujuan dalam rangka kebijakan yang sudah dirumuskan.
d)     Penunjukan orang-orang yang akan mengemban tanggung jawab pengembangan termasuk orang-orang yang akean mengadakan pengawasan.
e)      Penentuan sistem pengendalian yang memungkinkan pengukuran dan pembandingan apa yang harus dicapai dengan apa yang telah tercapai berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan (Soebagio Atmodiwirio, 2000: 5).
Tujuan utama perencanaan dalam manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut:
a)      Untuk menentukan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang akan mengisi semua jabatan dalam lembaga atau organisasi.
b)      Menjamin ketersediaan sumber daya manusia di masa sekarang maupun yang akan datang sehingga setiap pekerjaan ada yang mengerjakannya.
c)      Menghindari terjadinya mis manajemen dan tumpang tindih dalam pengembangan tugas, serta menghindari terjadinya kekurangan atau kelebihan sumber daya manusia dalam organisasi maupun unit kerja.
d)     Mempermudah jalur koordinasi, integrasi dan sinkronisasi sehingga meningkatkan produktifitas kerja.
e)      Menjadi pedoman dalam menetapkan program penarikan SDM, rekrutmen dan seleksi, penempatan, pelatihan dan pengembangan, kompensasi, penilaian kerja, dan lain-lain (Nur Choliq, 2008: 56).
2)      Rekrutmen dan Seleksi
Dalam kamus bahasa Indonesia rekrutmen adalah proses atau cara perbuatan merekrut (memasukkan atau mendaftarkan calon anggota baru (Peter Salim, 1992: 1254). Menurut Andrew E. Sikula yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia (2009: 33) mengatakan bahwa:
“recruitment is the act or process of an organization attemping to obtain additional manpower for operational purpose. Recruiting involves acquiring human resources to serve as institutional input.” (Rekrutmen adalah tindakan atau proses dari suatu organisasi untuk mendapatkan tambahan pegawai untuk tujuan operasional).

Lebih lanjut Arun Monappa dan Mirza S. Saiyadain mengatakan:
“recruitment is the generating of applications or application for specific position.” (Rekrutmen adalah memproses lamaran atau memproses calon-calon pegawai untuk posisi pekerjaan tertentu.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa rekrutmen adalah usaha atau proses yang dilakukan oleh organisasi sekolah/madrasah untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan yang efektif dan efisien.
Ada tiga langkah yang harus diperhatikan dalam merekrut tenaga kerja untuk lembaga pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a)      Penentuan jabatan yang kosong
Langkah ini dilakukan apabila ada jabatan yang kosong yang harus diisi oleh pegawai baru. Kekosongan tersebut dapat terjadi karena pension, mengundurkan diri, mutasi, meninggal dunia, bahkan karena pemecatan.
b)      Penentuan persyaratan jabatan
Biasanya penentuan persyaratan jabatan meliputi kriteria seperti keahlian, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang tentunya sesuai dengan jabatan yang dibutuhkan.
c)      Penentuan sumber dan metode rekrutmen
Untuk sumber rekrutmen calon pegawai, secara umum ada dua yaitu sumber internal dan sumber eksternal. Sumber internal adalah orang-orang yang sudah menjadi pegawai di sekolah/madrasah, dan yang sudah menduduki jabatan tertentu yang mungkin dapat dipindahkan (mutasi), dipromosikan, atau didemo (demosi) untuk mengisi jabatan yang kosong. Sedangkan sumber eksternal adalah orang-orang yang belum menjadi pegawai yang akan ditarik untuk menjadi calon (Marihot T.E.H., 2005: 105-118).
Untuk metode rekrutmen ada dua metode yang dapat dilakukan metode sumber internal dan eksternal. Untuk metode sumber internal meliputi:
                                                              i.               Metode tertutup, yaitu calon pegawai diperoleh dengan cara pimpinan memberikan atau menominasikan beberapa orang sebagai calon untuk dipromosikan.
                                                            ii.               Metode terbuka, yaitu melalui job posting, yaitu organisasi/sekolah/madrasah mengumumkan jabatan yang kosong pada papan pengumuman, pengumuman lisan, atau media lain sehingga memberikan kesempatan kepada semua pegawai untuk mengajukan lamaran secara formal.
Sedangkan untuk metode rekrutmen sumber eksternal meliputi:                
                                                              i.               Walk-in dan write-in
Walk-in adalah di manajemen pelamar atau pencari kerja dimungkinkan atau diperbolehkan mendatangi sekolah/madrasah untuk menyampaikan keinginannya menjadi pegawai. Write-in dilakukan melalui pengiriman surat lamaran.
                                                            ii.               Employee Referral (rekomendasi pegawai), yaitu pendekatan yang dilakukan untuk menarik calon pegawai melalui referensi atau rekomendasi dari pegawai sekolah/madrasah yang sudah ada, ini bertujuan para pekerja sangat mengenal orang-orang yang memiliki profesi dan potensi untuk melakukan pekerjaan yang sama.
                                                          iii.               Advertising (iklan), metode ini dilakukan melalui pengiklanan di media massa baik elektronik maupun cetak.
                                                          iv.               Open House, yaitu mengundang calon-calon potensial untuk mendengarkan informasi mengenai sekolah/madrasah dengan berbagai cara seperti pameran, memutar film mengenai fasilitas dan aktivitas sekolah/madrasah, dengan harapan dapat menarik calon-calon pegawai yang memiliki potensi.
Sedangkan seleksi adalah serangkaian langkah kegiatan yang digunakan untuk memutuskan apakah pelamar diterima atau tidak. Langkah-langkah ini mencakup pemaduan kebutuhan-kebutuhan kerja pelamar dan organisasi. Demikian juga menurut Werther dan Keith Davis mengatakan bahwa seleksi adalah rangkaian kegiatan dan langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk menetapkan pegawai yang diterima atau ditolak dan berhak menerima gaji/upah (Handoko T.H., 1995: 85).
Di dalam seleksi terdapat sejumlah alat dan metode seleksi yang digunakan, berikut ini adalah alat dan metode seleksi yang biasa digunakan oleh sekolah/madrasah:
a)      Penerimaan pendahuluan (preliminary reception)
        Penerimaan pendahuluan adalah di mana calon diminta mendatangi sekolah/madrasah. Tahap ini berguna untuk saling melengkapi antara pelamar dan sekolah/madrasah mengenai informasi masing-masing yang dilakukan dengan wawancara.
b)      Ujian Penerimaan (employment test)
        Tes atau ujian merupakan salah satu teknik yang luas digunakan dalam proses seleksi. Karena tes atau ujian dapat berupa tertulis maupun praktik/simulasi (Handoko T.H., 1995: 86)
        Adapun beberapa jenis tes yang biasa digunakan dalam menentukan calon pegawai oleh organisasi sekolah/madrasah antara lain sebagai berikut:
                                                                          i.                 Psychological Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui kepribadian atau temperamen seseorang. Dengan alat-alat, simbol-simbol atau gambar-gambar.
                                                                        ii.                 Knowledge Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui pengetahuan seseorang. Bisa tertulis atau praktik.
                                                                      iii.                 Performance Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui skill penampilan calon pegawai yang akan dibutuhkan.
                                                                      iv.                 Aptitude Test, yaitu tes yang dilakukan untuk mengetahui potensi seseorang untuk ditempatkan dalam pekerjaan tertentu atau untuk dikembangkan.
                                                                        v.                 Intelligence Test, yaitu tes yang digunakan untuk mengetahui kemampuan mental seseorang secara umum (Handoko T.H., 1995: 87).
i)                    Wawancara
Wawancara adalah usaha yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang calon pegawai, yang nantinya bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melihat kecocokannya dengan pekerjaan yang dibutuhkan di sekolah/madrasah.
ii)                  Penjelasan pekerjaan secara realistis (realistic job preview)
Realistic job preview merupakan usaha memberikan gambaran atau penjelasan realitas pekerjaan. Misalnya masalah gaji, jam kerja, beban kerja, dan lain-lain.
3)      Orientasi dan Penempatan
Menurut Cascio orientasi adalah pengakraban dan penyesuaian dengan situasi atau lingkungan. Kemudian menurut Werther dan Keith Davis mengatakan bahwa orientasi adalah mengakrabkan karyawan dengan peran, organisasi, kebijakan organisasi, dan karyawan lain. Namun berbeda dengan Marwansyah beliau mengatakan bahwa orientasi adalah aktivitas sumber daya manusia yang memperkenalkan karyawan baru kepada organisasi dan kepada tugas-tugas yang harus dikerjakan (Sedarmayanti, 2010: 114).
Ada lima langkah yang harus diperhatikan dalam orientasi untuk lembaga pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a)      Penyuluhan Pendahuluan
Tahap ini dilakukan untuk memperkenalkan pegawai baru, melalui unit kerjanya sendiri sampai unit kerja besarnya dan sampai unit-unit kerja lainnya.
b)      Penunjukan tempat tertentu (tempat ibadah, tempat dia bekerja, perpustakaan, dan lain-lain)
c)      Mengadakan pertemuan kelas
d)     Pengenalan dengan karyawan/pegawai lama
e)      Proses monitoring
Tujuan dan manfaat dari orientasi adalah sebagai berikut:
a)      Memperkenalkan karyawan baru dengan ruang lingkup tempat kerja dan kegiatannya.
b)      Memberikan informasi tentang kebijakan-kebijakan yang berlaku.
c)      Menghindari kemungkinan timbul kekacauan yang dihadapi karyawan baru, atas tugas atau pekerjaan yang diserahkan kepadanya.
d)     Memberikan kesempatan kepada karyawan baru untuk menanyakan hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.
Manfaat dari orientasi adalah sebagai berikut:
a)      Mengurangi perasaan diasingkan.
b)      Menghilangkan kecemasan dan kebimbangan pegawai
c)      Menjadi lebih yakin dan lebih senang (Sedarmayanti, 2010: 115-116).
4)      Pelatihan dan pengembangan
Pengembangan merupakan proses peningkatan keterampilan teknis, teoritis, konseptual, dan moral karyawan melalui pendidikan dan pelatihan (Malayu Hasibuan, 2002: 22). Sedangkan menurut Henry Sumamora pengembangan didasarkan pada fakta, bahwa seorang karyawan akan membutuhkan serangkaian pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang berkembang supaya bekerja dengan baik untuk mencapai sukses dalam karirnya (Henry S.,1997: 343).
Sedangkan pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Pada pelatihan inilah akan diciptakan suasana di manajemen karyawan dapat memperoleh sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan (Sondang P. Siagaan, 2008: 183).
Jadi antara keduanya memiliki perbedaan, perbedaan tersebut adalah kalau pelatihan yang dimaksud untuk meningkatkan kemampuan para pegawai melakukan tugas sekarang, dan pelatihan mempunyai fokus agak sempit dan harus memberikan keahlian-keahlian yang akan bermanfaat bagi lembaga secara tepat. Sedangkan pengembangan lebih berorientasi pada peningkatan produktifitas kerja para pekerja pada masa yang akan datang.
Prosedur pelatihan dan pengembangan agar mendapatkan hasil yang maksimal, diantaranya:
a)      Identifikasi kebutuhan
Pimpinan menggunakan empat prosedur untuk menentukan kebutuhan pelatihan individual dalam lembaga atau sub unit sebagai berikut: penilaian prestasi kerja, analisis persyaratan pekerjaan, analisis organisasi dan survey karyawan.
b)      Penentuan sasaran
Kegunaan penentuan sasaran adalah sebagai tolak ukur untuk menentukan berhasil tidaknya program pengembangan dan pelatihan. Dan mempersiapkan apa saja yang perlu dilakukan agar memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari pelatihan dan pengembangan yang akan diikuti.
c)      Penetapan isi program
Isi program ditentukan berdasarkan identifikasi kebutuhan dan sasaran. Apapun isinya program hendaknya memenuhi kebutuhan lembaga dan peserta.
d)     Identifikasi prinsip-prinsip belajar
Prinsip belajar yang layak dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pelatihan dan pengembangan adalah stimulus, repetisi, partisipasi, transfer pelatihan dan umpan balik (Sondang P. Siagaan, 2008: 188).
Ada dua metode pelatihan dan pengembangan, yakni:
a)      Metode pelatihan dan pengembangan di tempat kerja (on the job training and development)
b)      Metode pelatihan dan penegmbangan di luar tempat kerja (off the job training and development)
Job training dan pengembangan meliputi:
a)      Rotasi pekerjaan
Metode ini mengharuskan karyawan melakukan sejumlah pekerjaan, sehingga mereka memperoleh keahlian-keahlian, pengalaman dan pengetahuan baru yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut.
b)      Pemagangan (apprenticeship)
Karyawan melaksanakan pelatihan dan pengembangan di bawah bimbingan rekan yang mempunyai keterampilan tinggi selama jangka waktu tertentu.
c)      Intership
Metode ini hampir sama dengan magang, akan tetapi program ini bersifat sementara, bisa dikatakan hanya sebagai pengenalan terhadap pekerjaan di suatu lembaga pendidikan (Sondang P. Siagaan, 2008: 189).
5)      Penilaian Kerja
Penilaian kerja merupakan sistem formal yang digunakan untuk menilai kinerja individu secara periodik yang ditentukan oleh organisasi atau institusi (Surya Darma, 2005: 14). Namun menurut Surya Darma penilaian kerja juga dapat diartikan sebagai proses penentuan seberapa baik seseorang melakukan tugas yang diberikan kepadanya, tentunya didasarkan kepada tujuan, sasaran, target dan indicator yang telah ditetapkan oleh sebuah lembaga organisasi atau institusi (Hamzah B. Uno dan Nina Lamatenggo, 2012: 87).
Adapun prinsip-prinsip dalam penilaian kinerja meliputi sebagai berikut:
a)      Relevan
Relevan mempunyai makna (1) terdapat kaitan yang erat antara standar untuk pekerjaan tertentu dengan tujuan organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas antara elemen-elemen kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian.
b)      Sensitivitas
Sensitivitas adalah adanya kemampuan sistem penilaian kinerja dalam membedakan pegawai yang efektif dan pegawai yang tidak efektif.
c)      Reliabilitas
Reliabilitas dalam konteks ini berarti konsistensi penilaian. Dengan kata lain sekalipun instrument tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai seorang pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
d)     Akseptabilitas
Akseptabilitas merupakan pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang menggunakannya.
e)      Praktis
Praktis artinya bahwa instrumen penilaian yang disepakati mudah dimengerti oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses penilaian tersebut.
Penilaian kinerja tidak hanya dilakukan untuk menilai, akan tetapi juga memperbaiki kinerja. Oleh karena itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan di dalam melakukan penilaian kinerja, yaitu:
a)      Penentuan sasaran
Dalam penentuan sasaran penilaian kinerja haruslah spesifik, terukur, menantang, dan didasarkan pada waktu tertentu. Di samping itu perlu diperhatikan proses penentuan sasaran tersebut, yaitu diharapkan sasaran tugas individu dirumuskan bersama-sama antara atasan dan bawahan.
b)      Penentuan standar kinerja
Di dalam melakukan penilaian kinerja haruslah benar-benar objektif, artinya bahwa dalam mengukur kinerja pegawai yang sebenar-benarnya atau yang biasa disebut job related. Oleh karena itu sistem penilaian kinerja harus punya standar, yang memiliki ukuran yang dapat dipercaya, mudah dilaksanakan serta dipahami oleh penilai dan yang dinilai.
c)      Penentuan metode dan pengembangan penilaian
Metode yang dimaksud di sini adalah pendekatan atau cara serta perlengkapan yang digunakan. Metode-metode itu secara garis besar dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, metode penilaian yang berorientasi pada masa lalu. Kedua, metode penilaian yang berorientasi pada masa depan (Marihot T.E., 2005: 199-201).
Untuk metode pertama yang berorientasi pada masa lalu dilakukan sebagai penilaian perilaku kinerja yang dilakukan pada masa lalu sebelum penilaian dilakukan, di antaranya sebagai berikut:
i.                    Rating scale
Rating scale adalah penilaian yang didasarkan pada suatu skala, dari sangat memuaskan, memuaskan, cukup, sampai sangat kurang memuaskan, pada standar-standar kinerja seperti inisiatif, tanggung jawab, hasil kinerja, dan lain-lain.
ii.                  Checklist
Checklist adalah penilaian yang didasarkan pada suatu standar kinerja yang sudah dideskripsikan terlebih dahulu, kemudian penilai memeriksa apakah pegawai sudah memenuhi dan melakukannya. Standar-standar kinerja misalnya hadir dan pulang tepat waktu, bersedia bilamana diminta lembur, patuh terhadap atasan, dan lain-lain.
iii.                Critical incident technique
Critical incident technique adalah penilaian yang didasarkan pada perilaku khusus yang dilakukan di tempat kerja, baik perilaku baik maupun perilaku yang kurang baik. Penilaian ini dilakukan dengan observasi langsung.
Untuk metode kedua yang berorientasi pada masa yang akan datang dilakukan sebagai penilaian akan potensi seorang pegawai untuk melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang, di antaranya sebagai berikut:
i.                    Penilaian diri sendiri
Penilaian ini merupakan penilaian pegawai untuk diri sendiri dengan harapan pegawai tersebut dapat mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki di masa yang akan datang.
ii.                  Management by Objective (MBO)
MBO merupakan suatu program yang melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan target-target yang harus dicapainya.
iii.                Penilaian secara psikologis
Penilaian ini merupakan proses penilaian yang dlakukan oleh para ahli psikologis untuk mengetahui potensi seseorang yang berkaitan dengan pengembangan pekerjaan, seperti kemampuan intelektual, motivasi, dan lain-lain yang bersifat psikologis (Marihot T.E., 2005: 205-213).
d)     Evaluasi penilaian
Ini merupakan umpan balik kepada pegawai mengenai aspek-aspek kinerja yang harus diubah dan dipertahankan serta berbagai tindakan yang harus diambil, baik oleh organisasi maupun pegawai dalam upaya perbaikan kinerja di masa yang akan datang.
Penilaian kinerja banyak memiliki tujuan seperti yang disampaikan Stewart V dan Stewart A menyatakan bahwa penilaian kinerja dimaksudkan untuk:
i.                    Pengembangan
Dari hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai informasi untuk menentukan pegawai yang perlu pengembangan kapasitas diri, melalui training maupun pelatihan-pelatihan. Selain itu juga dapat digunakan sebagai informasi dalam melaksanakan counseling antara alasan dan bawahan sehingga dapat dicapai usaha-usaha pemecahan masalah yang dihadapi pegawai.
ii.                  Pemberian reward
Hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai proses penentuan kenaikan gaji, insentif dan promosi, selain itu juga dapat digunakan sebagai informasi untuk memberhentikan pegawai.
iii.                Motivasi
Penilaian kinerja dapat digunakan untuk memotivasi pegawai, mengembangkan inisiatif, rasa tanggung jawab sehingga mereka terdorong untuk meningkatkan kinerjanya.
iv.                Perencanaan SDM
Sebagai informasi untuk pengembangan keahlian dan keterampilan serta perencanaan SDM.
v.                  Kompensasi
Hasil penilaian kinerja dapat digunakan untuk menentukan apa yang harus diberikan kepada pegawai yang berkinerja tinggi atau rendah dan bagaimana menentukan kompensasi yang adil.
vi.                Komunikasi
Sebagai media komunikasi yang berkelanjutan antara atasan dan bawahan menyangkut kinerja pegawai (Surya Darma, 2005: 14-15).
6)      Pengembangan Karir
Keterlibatan lembaga pendidikan dalam pengelolaan dan perencanaan karir pegawai menjadi keharusan karena pengelolaan karir merupakan usaha pengembangan sumber daya manusia. Dan keterlibatan lembaga pendidikan dapat dilakukan dalam bentuk umum dan khusus. Untuk bentuk yang lebih umum biasanya melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan kepegawaian seperti orientasi, memberikan pekerjaan yang menantang, melakukan pra tinjauan jabatan yang realistis dalam perekrutan, penilaian kerja yang berorientasi karir bukan jangka pendek, menciptakan sistem promosi yang efektif dan lain-lain.
Sedangkan keterlibatan lembaga pendidikan dalam bentuk khusus adalah sebagai berikut:
a)      Pendidikan karir
Pendidikan karir merupakan upaya untuk merangsang, memotivasi, dan menyadarkan pegawai akan karir yang dapat dicapai dalam organisasi dan membantu mereka untuk merencanakannya. Pendidikan karir ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti lokakarya, seminar, dan lain-lain.
b)      Memberikan informasi tentang karir
Informasi yang diberikan merupakan informasi yang dibutuhkan seperti uraian jabatan (job description), persyaratan jabatan (job specification), dan standar kinerja (performance standart), sehingga mereka dapat merumuskan rencana karir yang masuk akal bagi mereka melalui jalur karir yang ada di lembaga dan paling tepat untuk ditempuh (Marihot T.E., 2005: 233-234).
Bimbingan karir yaitu upaya untuk menentukan jalur karir yang paling tepat bagi seseorang, yang dilakukan melalui penyadaran akan minat dan kemampuan untuk memilih jalur karir yang tepat yang dapat dilakukan melalui tes-tes bakat yang dikaitkan dengan kemungkinan jalur karir yang paling efektif.
7)      Kompensasi
Menurut Hasibuan kompensasi adalah sesuatu yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa atas kerja mereka (Malayu Hasibuan, 2002: 118). Sedangkan Mangkunegara mengatakan bahwa kompensasi adalah sebagai sistem reward atau imbalan merupakan keseluruhan paket keuntungan sehingga organisasi bisa membuat sesuatu yang bermanfaat bagi anggotanya serta diikuti bagaimana mekanisme dan prosedur imbalan didistribusikan.
Kompensasi terdiri atas tiga komponen yang masing-masing amat bervariasi. Yang pertama merupakan unsur-unsur yang paling besar. Pertama, kompensasi dasar/tetap yang diterima karyawan secara teratur, baik dalam bentuk gaji atau upah. Kedua, insentif yaitu program yang dirancang untuk memberi imbalan kepada karyawan atas kinerjanya yang baik. Insentif ini ada beberapa bentuk, seperti bonus, dan bagi untung. Ketiga, tunjangan atau kompensasi tidak langsung. Tunjangan ini meliputi asuransi kesehatan, liburan, transportasi, dan lain-lain (Anwar Prabu Mangkunegara, 2009: 83).
Dalam kompensasi ada tujuh kriteria keefektifannya, yaitu sebagai berikut:
a)      Memadai, tingkat minimal pemerintah, serikat kerja, dan manajerial seharusnya dipenuhi.
b)      Adil, setiap orang harus diberi imbalan secara adil sesuai dengan usahanya dan kemampuannya.
c)      Seimbang
d)     Efektif-biaya, gaji tidak berlebihan sesuai dengan kemampuan organisasinya untuk membayarnya.
e)      Aman, gaji/upah seharusnya cukup untuk membantu karyawan merasa aman dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.
f)       Menyediakan insentif untuk memotivasi kerja yang efektif dan produktif.
g)      Dapat diterima karyawan, karyawan seharusnya memahami sistem imbalan dan merasa bahwa sistem ini masuk akal bagi perusahaan atau bagi dirinya.
4.      Kaitan Manajemen Sumber Daya Manusia dengan Mutu Pendidikan Pondok Pesantren
Permasalahan mutu di dalam lembaga pendidikan Islam (termasuk Pondok Pesantren) merupakan permasalahan yang paling serius dan paling kompleks. Rata-rata, lembaga pendidikan Islam belum ada yang berhasil merealisasikan mutu pendidikannya (Mujamil Qomar, 2007: 204). Padahal mutu pendidikan itu menjadi cita-cita bersama seluruh pemikir dan praktisi pendidikan Islam, bahkan telah diupayakan melalui berbagai cara, metode, pendekatan, strategi, dan kebijakan. Ada apa sebenarnya dengan mutu pendidikan sehingga banyak menghabiskan energy tetapi hasilnya belum riil dan proporsional?
Menurut laporan Bank Dunia (1999) bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan (Mulyasa, 2003: 42). Sinyalemen ini meskipun masih perlu dibuktikan, agaknya memang benar karena kepala sekolah sebagai pengendali, adalah figur yang bertanggung jawab untuk menggerakkan kesadaran semua pihak, strategi pembelajaran, pengkondisian lingkungan belajar dan sebagainya.
Secara umum pesantren masih menghadapi kendala serius menyangkut keterkaitan sumber daya manusia professional dan penerapan manajemen yang umumnya masih konvensional, misalnya tiadanya pemisahan yang jelas antara yayasan, pimpinan madrasah, guru dan staf administrasi, tidak adanya transparansi pengelolaan sumber-sumber keuangan, belum terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan, dan banyaknya penyelenggaraan administrasi yang tidak sesuai dengan standar, serta unit-unit kerja tidak berjalan sesuai aturan baku organisasi. Kyai masih merupakan figure sentral dan penentu kebijakan pendidikan pesantren. Rekruitmen ustadz/guru, pengembangan akademik, reward system, bobot kerja juga tidak berdasarkan aturan yang baku. Penyelenggaraan pendidikan seringkali tanpa perencanaan. Keadaan ini jika ditilik dari sudut pandang manajemen modern memang kurang baik. Namun, pernyataan ini harus dikatakan secara hati-hati (Mastuki Hs. Dkk., 2003: 16).
Kultur pesantren tidak bisa dilihat dari secara hitam putih dan dipertentangkan dengan kultur modern. Bagi sebagian pengasuh pesantren barangkali ada beban psikologis untuk menerapkan begitu saja manajemen modern. Hubungan personal yang begitu melekat di pesantren tidak bisa diganti dengan pola hubungan impersonal seperti berlaku dalam manajemen modern. Hubungan kyai-santri, atau kyai dan masyarakat selama ini terbangun dari hubungan personal dan spiritual. Kerumitan dan permasalahan ini menyebabkan antara normativitas dan kondisi obyektif pesantren ada kesenjangan, termasuk dalam penerapan teori manajemen. Semata-mata berpegangan pada normativitas dengan mengabaikan kondisi obyektif yang terjadi di pesantren adalah tindakan kurang bijaksana, kalau tidak dikatakan gagal memahami pesantren. Akan tetapi, membiarkan kondisi itu berjalan terus tanpa ada pembenahan juga tidak arif. Di sini penerapan manajemen sumber daya manusia tidak bisa serta merta diterapkan tanpa mempertimbangkan atau mengakomodasi keadaan yang riil di pesantren. Harus ada toleransi dalam menyikapi kesenjangan itu secara wajar tanpa mengundang konflik.












0 comments:

Post a Comment